BAB I
Latar Belakang
Akhir-akhir ini makin banyak
dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang
mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada
pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan
ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang
mengikuti mekanisme pasar.
Pelanggaran etik bisnis di
perusahaan memang banyak, tetapi upaya untuk menegakan etik perlu digalakkan.
Misalkan, perusahaan tidak perlu berbuat curang untuk meraih kemenangan dan
keuntungan, agar tidak terjadi pelanggaran etika berbisnis, ataupun melanggar
peraturan yang berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Etika dan Bisnis sebagai
sebuah profesi
2.1.1 Hakikat Etika Bisnis
Menurut Drs. O.P. Simorangkir bahwa hakikat etika bisnis adalah
menganalisis atas asumsi-asumsi bisnis, baik asumsi moral maupun pandangan dari
sudut moral.
Karena bisnis beroperasi dalam rangka suatu sistem ekonomi, maka
sebagian dari tugas etika bisnis hakikatnya mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
tentang sistem ekonomi yang umum dan khusus, dan pada gilirannya menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan tentang tepat atau tidaknya pemakaian bahasa moral untuk
menilai sistem-sistem ekonomi, struktur bisnis.
2.1.2 Pengertian Etika dan
Bisnis
Kata etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat istiadat (kebiasaan). Sebagai suatu
subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun
kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu
salah atau benar, buruk atau baik.
Bisnis adalah suatu organisasi yang menjual
barang atau jasa kepada
konsumen atau
bisnis lainnya, untuk mendapatkan
laba. Secara
historis kata bisnis dari
bahasa Inggris business, dari kata dasar
busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu,
komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan
pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Pengertian Etika Bisnis secara sederhana adalah : cara-cara untuk
melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan
individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat.
Semuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil,
sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu
ataupun perusahaan di masyarakat itu sendiri.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting,
yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang
tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang
tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik,
sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal
serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan
selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka
panjang, karena :
· Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya
kemungkinan terjadinya friksi, baik
intern perusahaan maupun dengan
eksternal.
· Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
· Melindungi prinsip kebebasan berniaga
· Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh
perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan
akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan
beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan
nilai penjualan maupun nilai perusahaan.
Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis,
pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja
yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang
tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.
Perlu dipahami, karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling
berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin
harus mempertahankan karyawannya.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan
sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus
dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
· Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik
(code of conduct)
· Memperkuat sistem pengawasan
· Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk
karyawan secara terus menerus.
2.1.3
Etiket moral, hukum dan agama
Perbedaan Etika dan Etiket :
Seringkali dua istilah tersebut disamakan artinya, padahal perbedaan
antara keduanya sangat mendasar. Dari asal katanya saja berbeda, yakni Ethics
dan Ethiquetle. Etika berarti moral sedangkan Eiket berarti sopan santun. Namun
meskipun berbeda, ada persamaan antara keduanya, yaitu :
· Keduanya menyangkut perilaku manusia
· Etika dan eiket mengatur perilkau manusia
secara normative, artinya memberi norma bagi perilku manusia dan dengan
demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Perbedaannya yang penting antara lain yaitu :
· Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus
dilakukan manusia. Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara
yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan
tertentu.
· Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya
suatu perbuatan. Etika menyangkut pilihan yaitu apakah perbuatan boleh
dilakukan atau tidak.
· Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila
tidak ada saksi mata, maka maka etiket
tidak berlaku.
· Etika
selalu berlaku meskipun tidak ada saksi mata, tidak tergantung pada ada dan
tidaknya seseorang.
· Etiket
bersifat relatif artinya yang dianggap tidak sopan dala suatu kebudayaan, isa
saja diangap sopan dalam kebudayaan lain.
· Etika
jauh lebih bersifat absolut. Prinsip-prinsipnya tidak dapat ditawar lagi.
· Etiket
hanya memadang mausiadari segi lahiriah saja. Etika menyangkut manusia dari
segi dalam. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.
Perbedaan Moral dan Hukum:
Sebenarnya ataa keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Karena
anatara satu dengan yang lain saling mempegaruhi dan saling membutuhkan.
Kualitas hukum ditentukan oleh moralnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur
dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu
masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Secaliknya moral pun
membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabil atidak dikukuhkan,
diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat
meningkatkan dampak social moralitas. Walaupun begitu tetap saja antara Moral
dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain :
· Hukum
bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab
undang-undang. Maka hkum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.
· Norma
bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oleh pertanyaan atau
diskusi yang menginginkan kejelasan tentang etis dan tidaknya.
· Hukum
hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah manusia saja.
· Sedangkan
moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.
· Sanksi
hukum bisanya dapat dipakasakan.
· Sedangkan
sanksi moral satu-satunya adalah pada kenyataan bahwa hati nuraninya akan
merasa tidak tenang.
· Sanksi
hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
· Sedangkan
moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat
Perbedaan Etika dan Agama:
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu
manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Perbedaan
antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk mendasarkan diri
pada wahtu Tuhan dan ajaran agama.
Etika dan Moral
Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu
etika lebih sering dikenal sebagai kode etik.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai
yang berkenaan dengan baik buruk.
Dua kaidah dasar moral adalah:
· Kaidah
Sikap Baik. Pada dasarnya kita mesti bersikap baik terhadap apa saja. Bagaimana
sikap baik itu harus dinyatakann dalam bentuk yang kongkret, tergantung dari
apa yang baik dalam situasi kongkret itu.
· Kaidah
Keadilan. Prinsip keadilan adalah kesamaan yang masih tetap mempertimbangkan
kebutuhan orang lain. Kesamaan beban yang terpakai harus dipikulkan harus sama,
yang tentu saja disesuaikan dengan kadar angoota masing-masing.
2.1.4
Klasifikasi Etika
Menurut buku yang berjudul “Hukum dan Etika Bisnis” karangan Dr. H.
Budi Untung, S.H., M.M, tahun 2012 etika dapat diklasifikasikan menjadi :
1.
Etika
Deskriptif
Etika deskriptif yaitu etika di mana objek yang dinilai adalah sikap
dan perilaku manusia dalam mengejar tujuan hidupnya sebagaimana adanya. Nilai
dan pola perilaku manusia sebagaimana adanya ini tercemin pada situasi dan
kondisi yang telah membudaya di masyarakat secara turun-temurun.
2.
Etika
Normatif
Etika normatif yaitu sikap dan perilaku manusia atau massyarakat
sesuai dengan norma dan moralitas yang ideal. Etika ini secara umum dinilai memenuhi
tuntutan dan perkembangan dinamika serta kondisi masyarakat. Adanya tuntutan
yang menjadi avuan bagi masyarakat umum atau semua pihak dalam menjalankan
kehidupannya.
3.
Etika
Deontologi
Etika deontologi yaitu etika yang dilaksanakan dengan dorongan oleh
kewajiban untuk berbuat baik terhadap orang atau pihak lain dari pelaku
kehidupan. Bukan hanya dilihat dari akibat dan tujuan yang ditimbulakan oleh
sesuatu kegiatan atau aktivitas, tetapi dari sesuatu aktivitas yang
dilaksanakan karena ingin berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau pihak lain.
4.
Etika
Teleologi
Etika Teleologi adalah etika yang diukur dari apa tujuan yang dicapai
oleh para pelaku kegiatan. Aktivitas akan dinilai baik jika bertujuan baik.
Artinya sesuatu yang dicapai adalah sesuatu yang baik dan mempunyai akibat yang
baik. Baik ditinjau dari kepentingan pihak yang terkait, maupun dilihat dari
kepentingan semua pihak. Dalam etika ini dikelompollan menjadi dua macam yaitu
:
· Egoisme
Egoisme
yaitu etika yang baik menurut pelaku saja, sedangkan bagi yang lain mungkin
tidak baik.
· Utilitarianisme
Utilitarianisme
adalah etika yang baik bagi semua pihak, artinya semua pihak baik yang terkait
langsung maupun tidak langsung akan menerima pengaruh yang baik.
5.
Etika
Relatifisme
Etika relatifisme adalah etika yang dipergunakan di mana mengandung
perbedaan kepentingan antara kelompok pasrial dan kelompok universal atau
global. Etika ini hanya berlaku bagi kelompok passrial, misalnya etika yang
sesuai dengan adat istiadat lokal, regional dan konvensi, sifat dan lain-lain.
Dengan demikian tidak berlaku bagi semua pihak atau masyarakat yang bersifat
global.
2.1.5 Konsep Etika Bisnis
Konsep etika bisnis tercermin pada corporate culture (budaya
perusahaan). Menurut Kotler (1997) budaya perusahaan merupakan karakter suatu
perusahaan yang mencakup pengalaman, cerita, kepercayaan dan norma bersama yang
dianut oleh jajaran perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari cara
karyawannya berpakaian, berbicara, melayani tamu dan pengaturan kantor.
Dasar
pemikiran:
Suatu perusahaan akan memiliki hak hidup apabila perusahaan tersebut
memiliki pasar, dan dikelola oleh orang-orang yang ahli dan menyenangi
pekerjaannya. Agar perusahaan tersebut mampu melangsungkan hidupnya, ia
dihadapkan pada masalah:
1.
Intern,misalnya masalah perburuhan
2.
Ekstern,misalnya konsumen dan persaingan
3.
Lingkungan, misalnya gangguan keamanan
Pada
dasarnya ada 3 hal yang dapat membantu perusahaan mengatasi masalah di atas
yaitu:
1.
Perusahaan tersebut harus dapat
menemukan sesuatu yang baru.
2.
Mampu menemukan yang terbaik dan berbeda
3.
Tidak lebih jelek dari yang lain
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu memiliki nilai-nilai yang
tercermin pada:
1.
Visi
2.
Misi
3.
Tujuan
Budaya Organisasi
Pada budaya organisasi terdapat unsur
1.
Memecahkan masalah baik internal maupun
eksternal organisasi
2.
Budaya tersebut dapat ditafsirkan secara
mendalam
3.
Mempunyai persepsi yang sama
4.
Pemikiran yang sama
5.
Perasaan yang sama
Fungsi Dan Manfaat Budaya Perusahaan
1.
Fungsi
Menentukan
maksud dan tujuan organisasi dengan fungsi tersebut organisasi akan mengikat
anggotanya.
2.
Manfaat
3.
Mampu memecahkan masalah intern
4.
Mampu memecahkan masalah ekstern
5.
Mampu memiliki daya saing
6.
Mampu hidup jangka panjang
Kunci Membangun Budaya Perusahaan
1.
Memahami proses terbentuknya budaya
perusahaan
2.
Alamiah
3.
Konseptual
Sumber budaya perusahaan adalah:
· Karakteristik
pemimpin
· Jenis
pekerjaan
· Cara
memecahkan masalah
2.2. Prinsip Etika Dalam Bisnis
Serta Etika dan Lingkungan
Etika bisnis memiliki
prinsip-prinsip yang harus ditempuh perusahaan oleh perusahaan untuk mencapai
tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar memiliki standar baku yang mencegah
timbulnya ketimpangan dalam memandang etika moral sebagai standar kerja atau
operasi perusahaan. Muslich (1998: 31-33) mengemukakan prinsip-prinsip etika
bisnis sebagai berikut:
2.2.1
Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah sikap dan
kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan
kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Atau mengandung
arti bahwa perusahaan secara bebas memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang
dilakukan dan pelaksanaannya dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan
yang diambil perusahaan harus diarahkan untuk pengembangan visi dan misi
perusahaan yang berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan
komunitasnya.
2.2.2
Prinsip Kejujuran
Kejujuran adalah kunci keberhasilan
para pelaku bisnis untuk mempertahankan bisnisnya dalam jangka panjang.
Setidaknya ada 3 alasan mengapa prinsip kejujuran sangat relevan dalam dunia
bisnis (Keraf;1998). Pertama, kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat
perjanjian dan kontrak bisnis. Kejujuran sangat penting bagi masing-masing
pihak yang mengadakan perjanjian, dalam menentukan relasi dan keberlangsungan
bisnis dalam masing-masing pihak selanjutnya. Tanpa kejujuran, masing-masing
pihak akan melakukan bisnis dalam kecurangan. Kedua, kejujuran relevan dalam
penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga sebanding. Hal ini penting
membangun dan menjaga kepercayaan konsumen. Ketiga, kejujuran relevan dalam
hubungan kerja internal suatu perusahaan. Eksistensi perusahaan akan bertahan
lama jika hubungan dalam perusahaan dilandasi prinsip kejujuran.
2.2.3
Prinsip Keadilan
Prinsip ini dikemukakan baik oleh Keraf
(1998) maupun Oleh Weiss (2008) yang secara garis besar menyatakan bahwa
prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan sesuai porsi yang
menjadi haknya, sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria
rasional objektif yang dapat dipertanggung jawabkan. Secara lebih sederhana,
prinsip keadilan adalah prinsip yang tidak merugikan hak dan kepentingan orang
lain. dasar prinsip keadilan adalah pengadaan atas harkat martabat manusia
beserta hak hak yang melekat pada manusia. Keadilan juga bermakna meletakan
sesuatu pada tempatnya, menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain
tanpa kurang, memberikan hak setiap berhak secara lengkap, dalam keadaan yang
sama, dan penghubungan orang jahat atau yang melawan hokum, sesuai dengan
kesalahan dan pelanggarannya (masyhur;1985)
2.2.4
Hormat pada diri sendiri
Berdasar Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata hormat sebagai kata sifat memiliki arti sebagai menghargai
(takzim, khidmat, sopan). Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa rasa hormat
memiliki pengertian sebagai suatu sikap untuk menghargai atau sikap sopan.
Secara umum rasa hormat mempunyai arti yaitu merupakan suatu sikap saling
meghormati satu sama lain yang muda, hormat kepada yang tua yang tua,
menyayangi yang muda. Rasa hormat tidak akan lepas dari rasa menyayangi satu
sama lain karena tanpa adanya rasa hormat, takkan tumbuh rasa saling menyayangi
yang ada hanyalah selalu menganggap kecil atau remeh orang lain. Saling
menghormati satu sama lain tentu saja memberikan manfaat yang sangat positif
bagi diri maupun kenyamanan dalam menjalani hidup. Seperti misalnya dapat
saling membutuhkan, saling mengisi, saling menguntungkan, dan saling menguatkan
satu sama lain. Apabila dapat menghormati diri sendiri maka akan menimbulkan
efek positif khususnya bagi diri sendiri dan lingkungan pada umumnya. Hormat
pada diri sendiri mempunyai arti yaitu memilih dan menentukan perbuatan yang
tidak menyakiti, mencelakai, mengotori, menodai, dan merusak diri sendiri
(jasmani dan rohani). Dalam hormat pada diri sendiri membuat penilaian yang
tepat terhadap semua perbuatan berdasarkan norma-norma kehidupan yang berlaku
itu sangatlah penting karena hal tersebut akan menimbulkan pencritaan yang baik
pada diri kita.
2.2.5
Hak dan Kewajiban
Menurut Prof. Dr. Notonagoro:
Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya
diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak
lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
Kewajiban adalah sesuatu yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan
bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat
akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia
bersifat demokrasi.
2.2.6
Teori etika lingkungan
1. Ekosentrisme
Merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya
teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu
pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi
keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan
etika untukmencakup komunitas yang lebih luas.
2. Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam,
baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam
pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
3. Biosentrisme
adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral
Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral
tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang
secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk
hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
4. Zoosentrisme
adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini
juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles
Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan
karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga
bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan
salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of
Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara
moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih
5. Neo-Utilitarisme
Lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy
Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan
maka kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang
mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti
binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.
6. Anti-Spesiesme
Teori ini menuntut perlakuan yang sama bagi semua makhluk hidup, karena alasan
semuanya mempunyai kehidupan. Keberlakuan prinsip moral perlakuan yang sama
(equal treatment). Anti-spesiesme membela kepentingan dan kelangsungan hidup
spesies yang ada di bumi. Dasar pertmbangan teori ini adalah aspek sentience,
yaitu kemampuan untuk merasakan sakit, sedih, gembira
dan seterusnya.Inti dari teori biosentris adalah dan seluruh
kehidupan di dalamnya, diberi bobot dan pertimbangan moral yang sama.
7. Prudential
and Instrumental Argument, Prudential Argument menekankan bahwa kelangsungan
hidup dan kesejahteraan manusia tergantung dari kualitas dan kelestarian
lingkungan. Argumen Instrumental adalah penggunaan nilai tertentu pada alam dan
segala isinya, yakni sebatas nilai instrumental. Dengan argumen ini, manusia
mengembangkan sikap hormat terhadap alam.
8. Non-antroposentrisme,
Teori yang menyatakan manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau
terpisah dari alam.
9. The Free and
Rational Being, Manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan mahkluk
ciptaan lain karena manusia adalah satu-satunya mahkluk bebas dan rasional,
oleh karena itu Tuhan menciptakan dan menyediakan segala sesuatu di bumi demi
kepentingan manusia. Manusia mampu mengkomunikasikan isi pikirannya dengan
sesama manusia melalui bahasa. Manusia diperbolehkan menggunakan mahkluk
non-rasional lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu
tatanan dunia yang rasional.
10. Teori
Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan (Life-Centered Theory of Environment) Intinya
adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam yang bersumber dan
berdasarkan pada pertimbangan bahwa, kehidupan adalah sesuatu yang bernilai.
Etika ini diidasarkan pada hubungan yang khas anatara alam dan manusia, dan
nilai yang ada pada alam itu sendiri.
2.2.7 Prinsip etika di lingkungan hidup
Sebagai pegangan dan tuntunan bagi
prilaku kita dalam berhadapan dengan alam, terdapat beberapa prinsip etika
lingkungan yaitu :
1.
Sikap Hormat terhadap Alam
Hormat terhadap alam merupakan suatu
prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya
2.
Prinsip Tanggung Jawab
Tanggung jawab ini bukan saja
bersifat individu melainkan juga kolektif yang menuntut manusia untuk mengambil
prakarsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam
semesta dengan isinya.
3.
Prinsip Solidaritas
Yaitu prinsip yang membangkitkan
rasa solider, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan makluk hidup
lainnya sehigga mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan.
4.
Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian
Prinsip satu arah , menuju yang lain
tanpa mengaharapkan balasan, tidak didasarkan kepada kepentingan pribadi tapi
semata-mata untuk alam.
5.
Prinsip “No Harm”
Yaitu Tidak Merugikan atau merusak,
karena manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam,
paling tidak manusia tidak akan mau merugikan alam secara tidak perlu
6.
Prinsip Hidup Sederhana dan Selaras dengan Alam
Pola konsumsi dan produksi manusia
modern harus dibatasi. Prinsip ini muncul didasari karena selama ini alam hanya
sebagai obyek eksploitasi dan pemuas kepentingan hidup manusia.
7.
Prinsip Keadilan
Prinsip ini berbicara terhadap akses
yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan
kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut
menikmati manfaat sumber daya alam secara lestari.
8.
Prinsip Demokrasi
Prinsip ini didsari terhadap
berbagai jenis perbeaan keanekaragaman sehingga prinsip ini terutama berkaitan
dengan pengambilan kebijakan didalam menentukan baik-buruknya, tusak-tidaknya,
suatu sumber daya alam.
9.
Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini menuntut pejabat publik
agar mempunyai sikap dan prilaku moral yang terhormat serta memegang teguh
untuk mengamankan kepentingan publik yang terkait dengan sumber daya alam.
2.3
Model
etika dalam bisnis, sumber nilai etika dan faktor-faktor yang mempengaruhi
etika manajerial
Model Etika
dalam Bisnis, Sumber Nilai Etika dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etika
Manajerial.
Model Etika Dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan
manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam
bisnisnya :
• Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari
model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang
memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa
yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun
bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang
tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan
kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri
sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini
selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai
batu sandungan dalam menjalankanbisnisnya.
• Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas
dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen,
manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama
sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini,
yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral
manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam
segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung
akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan
bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi
etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka
tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan
pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi
hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam
beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan
pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun
terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan
lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya
berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa
aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan
moralitas.
Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis
adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar
pemikirannya sebagai berikut :
§
Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan
kepentingan ego-pribadi. Bisnis
diperlakukan seperti permainan (game) yang
aturannya sangat berbeda dari aturan
yang ada dalam kehidupan sosial pada
umumnya.
§
Orang yang mematuhi aturan moral dan
ketanggapan sosial (sosial responsiveness)
akan berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan di tengah persaingan ketat
yang tak mengenal “values” yang
menghasilkan segala cara.
§
Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan
secara legal (karena sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku dan karena law
enforcement-nya lemah), maka para penganut
bisnis amoral itu justru menyatakan
bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka”
(kriteria atau ukuran mereka) dapat
dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan
sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka.
Bisnis amoral dalam dirinya meskipun
ditutup-tutupi tidak mau menjadi
“agen moral” karena mereka menganggap hal ini
membuang-buang waktu, dan mematikan
usaha mencapai laba.
• Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai
etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral
manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar
tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang
termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku
namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya.
Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam
bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga
tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran,
dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat
sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan
bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan
hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip
etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule)
sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.
• Agama,
Filosofi, Budaya dan Hukum
1.
Agama
Agama adalah sumber dari segala
moral dalam etika apapun dengan kebenarannya yang absolut. Tiada keraguan dan
tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Agama
berkorelasi kuat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral atau etika
yang di jadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan
beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral yang baik pula.
Orang-orang dalam organisasi bisnis secara luas harus menganut nilai shiddiq,
tabligh, amanah dan fathanah.
2.
Filsafat
Sumber utama nilai-nilai etika
yang dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam pengeJolaan dan
pengendalian perilaku pebisnis dengan aktifitas usaha bisnisnya adalah
filsafat. Ajaran-ajaran filsafat tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran yang
bersumber dari pemikiran-pemikiran filsuf dan ahli filsafat yang terus
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
3.
Budaya
Referensi penting lainnya yang
dapat dimanfaatkan sebagai acuan etika bisnis adalah pengalaman dan
perkembangan budaya, baik budaya dari suatu bangsa maupun budaya yang bersumber
dari berbagai negara (Cracken, 1986). Budaya yang mengalami transisi akan
melahirkan nilai, aturan-aturan dan standar-standar yang diterima oleh suatu
komunitas tertentu dan selanjutnya diwujudkan dalam perilaku seseorang, suatu
kelompok atau suatu komunitas yang lebih besar.
4. Hukum
Hukum merupakan aturan hidup yang
bersifat memaksa dan si pelanggar dapat diberi tindakan hukum yang tegas dan
nyata. Hukum moral dalam banyak hal lebih banyak mewarnai lilai-nilai etika.
Hukum moral adalah tuntunan perilaku manusia yang ditaati karena kesadaran yang
bersumber pada hati nurani dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.
Selain hukum moral yang
biasanya tidak tertulis dan hanya ditulis untuk penjelasan informasi semata,
etika bisnis juga mengadopsi aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah,
negara atau kesepakatan-kesepakatan hukum internasional. Harapan-harapan etika
ditentukan oleh hukum yang berlaku itu. Hukurn mengatur serta mendorong
perbaikan masalah yangdipandang buruk atau baik dalam suatu komunitas.
Sayangnya hingga saat ini kita masih menemukan kendala-kendala penyelenggaraan
hukum etika di Indonesia.
5.
Leadership
Satu hal penting dalam penerapan
etika bisnis di perusahaan adalah peran seorang pemimpin/leadership. Pemimpin
menjadi pemegang kunci pelaksanaan yang senantiasa dilihat oleh seluruh
karyawan. Di berbagai kondisi, saat krisis sekalipun, seorang pemimpin haruslah
memiliki kinerja emosional & etika yang tinggi. Pada prakteknya, dibutuhkan
kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual dari seorang pemimpin dalam
penerapan etika bisnis ini.
Kepemimpinan yang baik dalam bisnis adalah kepemimpinan yang beretika. Etika
dalam berbisnis memberikan batasan akan apa yang yang sebaiknya dilakukan dan
tidak. Pemimpin sebagai role model dalam penerapan etika bisnis, akan mampu
mendorong karyawannya untuk terus berkembang sekaligus memotivasi agar
kapabilitas karyawan teraktualisasi.
6. Strategi dan Performasi
Fungsi yang penting dari sebuah manajemen adalah
untuk kreatif dalam menghadapi tingginya tingkat persaingan yang membuat
perusahaannya mencapai tujuan perusahaan terutama dari sisi keuangan tanpa
harus menodai aktivitas bisnisnya berbagai kompromi etika. Sebuah perusahaan
yang jelek akan memiliki kesulitan besar untuk menyelaraskan target yang ingin
dicapai perusahaannya dengan standar-standar etika. Karena keseluruhan strategi
perusahaan yang disebut excellence harus bisa melaksanakan seluruh
kebijakan-kebijakan perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan dengan cara yang
jujur.
7.
Karakter Individu
Perjalanan hidup suatu perusahaan tidak lain
adalah karena peran banyak individu dalam menjalankan fungsi-fungsinya dalam
perusahaan tersebut. Perilaku para individu ini tentu akan sangat mempengaruhi
pada tindakan-tindakan mereka ditempat kerja atau dalam menjalankan aktivitas
bisnisnya.
Semua kualitas individu nantinya akan dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor
yang diperoleh dari luar dan kemudian menjadi prinsip yang dijalani dalam
kehidupannya dalam bentuk perilaku. Faktor-faktor tersebut yang pertama adalah
pengaruh budaya, pengaruh budaya ini adalah pengaruh nilai-nilai yang dianut
dalam keluarganya. Seorang berasal dari keluarga tentara, mungkin saja dalam
keluarganya di didik dengan disiplin yang kuat, anak anaknya harus beraktivitas
sesuai dengan aturan yang diterapkan orang tuanya yang kedua, perilaku ini akan
dipengaruhi oleh lingkunganya yang diciptakan di tempat kerjanya. Aturan
ditempat kerja akan membimbing individu untuk menjalankan peranannya ditempat
kerja. Peran seseorang dalam oerganisasi juga akan menentukan perilaku dalam
organisasi,seseorang yang berperangsebagai direktur perusahaan, akan merasa
bahwa dia adalah pemimpin dan akan menjadi panutan bagi para
karyawannya,sehingga dalam bersikap dia pun akan mencoba menjadi orang yang dapat
dicontoh oleh karyawannya, misalnya dia akan selalu datang dan pulang sesuai
jam kerja yang ditentukan oleh perusahaan. Faktor yang ketiga adalah
berhubungan dengan lingkungan luar tempat dia hidup berupa kondisi politik dan
hukum, serta pengaruh–pengaruh perubahan ekonomi. Moralitas seseorang juga
ditentukan dengan aturan-aturan yang berlaku dan kondisi negara atau wilayah
tempat tinggalnya saat ini. Kesemua faktor ini juga akan terkait dengan status
individu tersebut yang akan melekat pada diri individu tersebut yang terwuju
dari tingkah lakunya.
8.
Budaya
Organisasi
Budaya organisasi adalah suatu kumpulan
nilai-nilai, norma-norma, ritual dan pola tingkah laku yang menjadi
karakteristik suatu organisasi. Setiap budaya perusahaan akan memiliki dimensi
etika yang didorong tidak hanya oleh kebijakan-kebijakan formal perusahaan,
tapi juga karena kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang berkembang dalam
organisasi perusahaan tersebut, sehingga kemudian dipercayai sebagai suatu
perilaku, yang bisa ditandai mana perilaku yang pantas dan mana yang tidak
pantas.
Budaya-budaya perusahaan inilah yang membantu
terbentuknya nilai dan moral ditempat kerja, juga moral yang dipakai untuk
melayani para stakeholdernya. Aturan-aturan dalam perusahaan dapat dijadikan
yang baik. Hal ini juga sangat terkait dengan visi dan misi perusahaan.
Banyak hal-hal lain yang bisa kita jadikan contoh bentuk budaya dalam
perusahaan. Ketika masuk dalam sebuah bank, misalnya, satpam bank selalu
membukakan pintu untuk pengunjung dan selalu mengucapkan salam, seperti selamat
pagi ibu…selamat sore pak…sambil menundukkan badannya, dan nilai-nilai
sebagiannya. Ini juga budaya perusahaan, yang dijadikan kebiasaan sehari-hari
perusahaan.
2.4 Norma
dan etika dalam pemasaran, produksi, manajemen sumber daya manusia dan
finansial
2.4.1 Pasar
dan Perlindungan Konsumen
Dalam pendekatan pasar, terhadap
perlindungan konsumen , keamanan konsumen dilihat sebagai produk yang paling
efisien bila disediakan melalui mekanisme pasar bebas di mana penjual memberikan
tanggapan terhadap permintaan konsumen. (Velazquez,2005: 317). Dalam teori,
konsumen yang menginginkan informasi bisa mencarinya di organisasi-organisasi
seperti consumers union, yang berbisnis memperoleh dan menjual informasi.
Dengan kata lain, mekanisme pasar perlu menciptakan pasar informasi konsumen
jika itu yang diinginkan konsumen.( Velazquez,2005: 319).
Adapun kewajiban konsumen untuk
melindungi kepentingannya ataupun produsen yang melindungi kepentingan
konsumen, sejumlah teori berbeda tentang tugas etis produsen telah dikembangkan
, masing- masing menekankan keseimbangan yang berbeda antara kewajiban konsumen
pada diri mereka sendiri dengan kewajiban produsen pada konsumen meliputi
pandangan kontrak, pandangan “ due care” dan pandangan biaya sosial.
1. Pandangan kontrak kewajiban produsen terhadap konsumen
Menurut pandangan kontrak tentang
tugas usaha bisnis terhadap konsumen, hubungan antara perusahaan dengan
konsumen pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual, dan kewajiban moral
perusahaan pada konsumen adalah seperti yang diberikan dalam hubungan
kontraktual. Pandangan ini menyebutkan bahwa saat konsumen membeli sebuah
produk, konsumen secara sukarela menyetujui “ kontrak penjualan” dengan
perusahaan. Pihak perusahaan secara sukarela dan sadar setuju untuk memberikan
sebuah produk pada konsumen dengan karakteristik tertentu, dan konsumen juga
dengan sukarela dan sadar setuju membayar sejumlah uang pada perusahaan untuk
produk tersebut. Karena telah sukarela menyetujui perjanjian tersebut, pihak
perusahaan berkewajiban memberikan produk sesuai dengan karakteristik yang
dimaksud. Teori kontrak tentang tugas perusahaan kepada konsumen didasarkan
pada pandangan bahwa kontrak adalah sebuah perjanjian bebas yang mewajibkan
pihak-pihak terkait untuk melaksanakan isi persetujuan. Teori ini memberikan
gambaran bahwa perusahaan memiliki empat kewajiban moral utama: kewajiban dasar
untuk mematuhi isi perjanjian penjualan, dan kewajiban untuk memahami sifat
produk , menghindari misrepesentasi, dan menghindari penggunaan paksaan atau
pengaruh . Dengan bertindak sesuai kewajiban-kewajiban
tersebut,perusahaan berartim menghormati hak konsumen untuk diperlakukan
sebagai individu yang bebas dan sederajat atau dengan kata lain,sesuai dengan
hak mereka untuk memperoleh perlakuan yang mereka setuju untuk dikenakan pada
mereka. (Velazquez,2005: 321-323). Meskipun demikian, teori kontraktual
mempunyai kelemahan diantaranya. Pertama, teori ini secara tidak realistis
mengasumsikan bahwa perusahaan melakukan perjanjian secara langsung dengan
konsumen. Kedua, teori ini difokuskan pada fakta bahwa sebuah kontrak sama
dengan bermata dua. Jika konsumen dengan sukarela setuju untuk membeli sebuah
produk dengan kualitas- kualitas tertentu , maka dia bisa setuju untuk membeli
sebuah produk tanpa kualitas-kualitas tersebut. Atau dengan kata lain,
kebebasan kontrak memungkinkan perusahaan dibebaskan dari kewajiban kontrak
dengan secara eksplisit menyangkal bahwa produk yang dijual bisa
diandalkan,bisa diperbaiki, aman dan sebagainya.
Jadi, teori kontrak ini
mengimplikasikan bahwa jika konsumen memiliki banyak kesempatan untuk memeriksa
produk, beserta pernyataan penolakan jaminan dan dengan sukarela menyetujuinya,
maka diasumsikan bertanggungjawab atas cacat atau kerusakan yang disebutkan
dalam pernyataan penolakan, serta semua karusakan yang mungkin terlewati saat
memeriksanya. Ketiga, asumsi penjual dan pembeli adalah sama dalam perjanjian
penjualan. Kedua belah pihak harus mengetahui apa yang mereka lakukan dan tidak
ada yang memaksa . Kenyataanya, pembeli dan penjual tidak sejajar/ setara
seperti yang diasumsikan .Seorang konsumen yang harus membeli ratusan jenis
komoditas tidak bisa berharap mengetahui segala sesuatu tentang semua produk
tersebut seperti produsen yang khusus memproduksi produk. Konsumen tidak
memiliki keahlian ataupun waktu untuk memperoleh dan memproses informasi untuk
dipakai sebagai dasar membuat keputusan.
2. Teori Due care
Teori ini menerangkan tentang
kewajiban perusahaan terhadap konsumen didasarkan pada gagasan bahwa pembeli
dan konsumen tidak saling sejajar dan bahwa kepentingan-kepentingan konsumen
sangat rentan terhadap tujuan-tujuan perusahaan yang dalam hal ini
memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki konsumen. Karena produsen
berada dalam posisi yang lebih menguntungkan, mereka berkewajiban untuk
menjamin bahwa kepentingan –kepentingan konsumen tidak dirugikan oleh produk
yang mereka tawarkan. Pandangan due care ini juga menyatakan bahwa konsumen
harus bergantung pada keahlian produsen, maka produsen tidak hanya berkewajiban
untuk memberikan produk yang sesuai klaim yang dibuatnya, namun juga wajib
berhati-hati untuk mencegah agar orang lain tidak terluka oleh produk tersebut
sekalipun perusahaan secara eksplisit menolak pertanggungjawaban ini bila
mereka gagal memberikan perhatian yang seharusnya bisa dilakukan dan perlu
dilakukan untuk mencegah agar orang lain tidak dirugikan oleh penggunaan suatu
produk (Velazquez,2005: 330). Adapun kelemahan yang didapat
dari teori ini adalah tidak adanya metode yang jelas untuk menentukan kapan
seseorang atau produsen telah memberikan perhatian yang memadai. Kemudian,
asumsi bahwa produsen mampu menemukan resiko – resiko yang muncul dalam
penggunaan sebuah produk sebelum konsumen membeli dan menggunakannya. Pada
kenyataannya ,dalam masyarakat dengan inovasi teknologi yang tinggi,
produk-produk baru yang kerusakannya tidak bisa dideteksi sebelum dipakai
selama beberapa tahun dan akan terus disalurkan ke pasar. Ketiga, teori ini
terlihat paternalistik , yang menggambarkan bahwa produsen adalah pihak yang
mengambil keputusan –keputusan penting bagi konsumen , setidaknya dalm
kaitannya dengan tingkat resiko yang layak diterima konsumen. (Velazquez,2005:
334).
3. Pandangan teori biaya sosial
Teori ini menegaskan bahwa produsen
bertanggungjawab atas semua kekurangan produk dan setiap kekurangan yang
dialami konsumen dalam memakai poroduk tersebut. Teori ini merupakan versi yang
paling ekstrem dari semboyan “ caveat venditor” (hendaknya si penjual berhati-
hati). Walaupun teori ini menguntungkan untuk konsumen, rupanya sulit
mempertahankannya juga. Kritik yang dapat diungkapkannya sebagai berikut:
1.
Teori biaya sosial tampaknya kurang adil, karena
menganggap orang bertanggungjawab atas hal–hal yang tidak diketahui atau tidak bisa
dihindarkan.
2.
Membawa kerugian ekonomis, bila teori ini dipraktekkan,
maka produsen terpaksa harus mengambil asuransi terhadap kerugian dan biaya
asuransi itu bisa menjadi begitu tinggi, sehingga tidak terpikul lagi oleh
banyak perusahaan. (Bertens, 2000: 238-239).
Ada juga
tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen, yaitu ;
1.
Kualitas
produk
Dengan kualitas produk disini
dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh produsen
(melalui iklan atau informasi lainnya) dan apa yang secara wajar boleh
diharapkan oleh konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena
ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang
berkualitas, misalnya produk yang tidak kadaluwarsa( bila ada batas waktu seperti
obat-obatan atau makanan). (Bertens, 2000: 240)
2.
Harga
Harga yang adil merupakan sebuah
topik etika yang sudah tua. Mulai dari zaman Aristoteles dan pemikirannya
sampai abad pertengahan. Di zaman modern , struktur ekonomi tentu menjadi lebih
kompleks. Karena itu, masalah harga pun menjadi suatu kenyataan ekonomis sangat
kompleks yang ditentukan oleh banyak faktor sekaligus, namun masalah ini tetap
diakui mempunyai implikasi etis yang penting. Harga merupakan buah hasil
perhitungan faktor-faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi,
pajak, ditambah tentu laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas,
sepintas lalu rupanya harga yang adil adalah hasil akhir dari perkembangan
daya-daya pasar . Kesan spontan adalah bahwa harga yang adil dihasilkan oleh
tawar- menawar sebagaimana dilakukan di pasar tradisional, dimana si pembeli
sampai pada maksimum harga yang mau ia pasang. Transaksi terjadi, bila maksimum
dan minimum itu bertemu. Dalam hal ini mereka tentu dipengaruhi oleh para
pembeli dan penjual lain di pasar dan harga yang mau mereka bayar atau pasang .
Jika penjual lain menawarkan barangnya dengan harga lebih murah, tentu saja
para pembeli akan pindah ke tempat itu. Harga bisa dianggap adil karena
disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembentukannya (Bertens,
2000: 242)
3.
Pengemasan
dan pemberian label
Pengemasan produk dan label yang
ditempelkan pada produk merupakan aspek bisnis yang semakin penting. Selain
bertujuan melindungi produk dan memungkinkan mempergunakan produk dengan mudah,
kemasan berfungsi juga untuk mempromosikan produk, terutama di era toko
swalayan sekarang. Pengemasan dan label dapat menimbulkan juga masalah etis.
Tuntutan etis yang pertama ialah informasi yang disebut pada kemasan benar .
Kemudian tuntutan lain yang diperoleh dari pengemasan ini adalah tidak boleh
menyesatkan konsumen. (Bertens, 2000: 245-246)
2.4.2 Etika
Dalam Periklanan
Secara sederhana, etika adalah suatu
suatu cabang ilmu filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
moral.
Etika berisi
prinsip-prinsip moralitas dasar yang akan mengarahkan perilaku manusia`
Definisi
iklan:
Pesan komunikasi pemasaran atau
komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu
media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagian
atau seluruh masyarakat.
Definisi periklanan adalah seluruh
proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, penyampaian dan umpan balik dari
pesan komunikasi pemasaran.
(Dikutip
dari: Etika Pariwara Indonesia, cetakan 3, 2007)
Periklanan atau reklame adalah
bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Iklan dianggap sebagai cara ampuh
untuk menonjol dalam persaingan. Dalam perkembangan periklanan, media
komunikasi modern : media cetak maupun elektronis, khususnya televisi memegang
peranan dominan. Fenomena periklanan ini menimbulkan perbagai masalah yang
berbeda.
Periklanan dilatar belakangi suatu
ideologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ideologi konsumerisme atau apapun
nama yang ingin kita pilih untuk itu. Ada dua persoalan etis yang terkait dalam
hal periklanan. Yang pertama menyangkut kebenaran dalam iklan. Mengatakan yang
benar merupakan salah satu kewajiban etis yang penting. Persoalan etis yang
kedua adalah memanipulasi public yang menurut banyak pengamat berulang kali
dilakukan melalui upaya periklanan.
2.4.3 Privasi
Konsumen
Privasi merupakan tingkatan
interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau
situasi tertentu. tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan
atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain,
atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang
lain. adapun definisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk
mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan atau kemampuan
untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. privasi jangan dipandang
hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain
dalam rangka menyepi saja.
2.4.4 Etika
Produksi
Etika Produksi adalah seperangkat
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menegaskan tentang benar dan salahnya hal
hal yang dikukan dalam proses produksi atau dalam proses penambahan nilai guna
barang.
Pentingnya
Etika Produksi
Dalam proses produksi, subuah
produsen pada hakikatnya tentu akan selalu berusaha untuk menekan biaya
produksi dan berusaha untuk mendapatkan laba sebanyak banyaknya. Dalam upaya
produsen untuk memperoleh keuntungan, pasti mereka akan melakukan banyak hal
untuk memperolehnya. Termasuk mereka bisa melakukan hal hal yang mengancam
keselamataan konsumen. Padahal konsumen dan produsen bekerjasama. Tanpa
konsumen, produsen tidak akan berdaya. Seharunyalah produsen memeberi perhatian
dan menjaga konsumen sebagai tanda terima kasih telah membeli barang atau menggunakan
jasa yang mereka tawarkan. Namun banyak produsen yang tidak menjalankan hal
ini. Produsen lebih mementingkan laba. Seperti banyaknya kasus kasus yang
akhirnya mengancam keselamatan konsumen karena dalam memproduksi, produsen
tidak memperhatikan hal hal buruk yang mungkin terjadi pada konsumen. Bahkan,
konsumen ditipu, konsumen ditawarkan hal-hal yang mereka butuhkan, tapi pada
kenyataannya, mereka tidak mendapat apa yang mereka butuhkan mereka tidak
memperoleh sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Etika
manajemen sumber daya manusia
‘Manajemen SDM’ menempati ruang
kegiatan seleksi rekrutmen, orientasi, penilaian kinerja, pelatihan dan
pengembangan, hubungan industrial dan kesehatan dan isu keamanan di mana etika
benar-benar penting. Bidang sejak beroperasi dikelilingi oleh kepentingan pasar
yang commodify dan instrumentalize segalanya demi keuntungan diklaim atas nama
pemegang saham, harus diprediksi bahwa akan ada klaim peserta etik SDM
ditebak,. Etika manajemen sumber daya manusia sebuah dataran diperebutkan
seperti lainnya sub-bidang etika bisnis. Ahli etika bisnis berbeda dalam
orientasi mereka terhadap etika kerja. Satu kelompok ahli etika dipengaruhi
oleh logika neoliberalisme mengusulkan bahwa tidak ada etika di luar
pemanfaatan sumber daya manusia terhadap laba keuntungan yang lebih tinggi bagi
para pemegang saham. Orientasi neoliberal adalah ditantang oleh argumen bahwa
kesejahteraan tenaga kerja tidak kedua tujuan pemegang saham mencari keuntungan
Beberapa orang lain melihat etika manajemen sumber daya manusia sebagai wacana
menuju tempat kerja yang egaliter dan martabat tenaga kerja.
Diskusi mengenai isu-isu etis yang
mungkin timbul dalam hubungan kerja, termasuk etika diskriminasi, dan hak-hak
karyawan dan tugas yang sering terlihat dalam teks-teks etika bisnis Sementara
beberapa berpendapat bahwa ada hak-hak asasi tertentu seperti tempat kerja. hak
untuk bekerja, hak atas privasi, hak yang harus dibayar sesuai dengan nilai
yang sebanding, hak untuk tidak menjadi korban diskriminasi, yang lain mengklaim
bahwa hak tersebut dapat dinegosiasikan. wacana etis di HRM sering mengurangi
perilaku etika perusahaan seolah-olah mereka amal dari perusahaan daripada
hak-hak karyawan Kecuali dalam pekerjaan, di mana kondisi pasar sangat
menguntungkan karyawan,. karyawan diperlakukan sekali pakai dan dibuang dan
dengan demikian mereka defencelessly terpojok untuk kerentanan ekstrim The
expendability karyawan, bagaimanapun, adalah dibenarkan dalam teks ‘moralitas
bisnis’ di tanah posisi etika menentang expendability yang harus dikorbankan
untuk ‘kebaikan yang lebih besar dalam sistem pasar bebas’ Lebih lanjut, ia
berpendapat karena karena ‘melakukan keduanya karyawan dan majikan pada
kenyataannya memiliki kekuatan ekonomi dalam pasar bebas, akan tidak etis jika.
pemerintah atau’ kerja istilah memaksakan hubungan kerja ‘serikat buruh
Ada diskusi tentang etika dalam
praktik manajemen kerja individu, isu-isu seperti kebijakan dan praktik
manajemen sumber daya manusia, peran sumber daya manusia (SDM) praktisi,
penurunan dari serikat buruh, masalah globalisasi tenaga kerja dll , dalam
literatur HRM baru-baru ini, meskipun. mereka tidak menempati tahap sentral
dalam akademisi HR Hal ini mengamati bahwa dengan penurunan serikat buruh
seluruh dunia, yang berpotensi lebih rentan terhadap perilaku oportunistik dan
tidak etis Hal ini dikritik bahwa HRM telah menjadi lengan strategis pemegang
saham mencari keuntungan melalui pembuatan pekerja menjadi ‘budak bersedia’.
Sebuah artikel poin juga dikutip
bahwa ada ‘lembut’ dan ‘keras’ versi HRMS, dimana dalam pendekatan-lunak
menganggap karyawan sebagai sumber energi kreatif dan peserta kerja pengambilan
keputusan dan versi keras lebih eksplisit fokus pada rasionalitas organisasi,
kontrol, dan profitabilitas. Sebagai tanggapan, ia berpendapat bahwa stereotip
HRM keras dan lunak keduanya bertentangan dengan etika karena mereka alat untuk
menghadiri terhadap motif keuntungan tanpa memberikan pertimbangan yang cukup
untuk masalah moral yang relevan lainnya seperti keadilan sosial dan kesejahteraan
manusia. Namun, ada penelitian menunjukkan, keberhasilan yang berkelanjutan
jangka panjang organisasi dapat dipastikan hanya dengan tenaga kerja puas
diperlakukan secara manusiawi.
Pasar, jelas, bukan institusi
inheren etis yang dapat dipimpin oleh ‘invisible hand’ yang mitos saja, tidak,
dapat menyinggung pasar yang secara inheren tidak etis Selain itu, etika
bukanlah sesuatu yang bisa dicapai melalui pendirian. prosedur, gambar kode
etik, atau pemberlakuan hukum atau cara heteronomous lain, meskipun kebutuhan
mereka bisa tetap dipertanyakan. Namun, meskipun pasar tidak perlu menjadi
penyebab bahaya moral atau etika mungkin melayani suatu kesempatan untuk
seperti bahaya. Bahaya moral HRM akan terus meningkat begitu banyak seperti
hubungan manusia dan sumber daya yang tertanam di dalam manusia diperlakukan
hanya sebagai komoditas.
* Isu Diskriminasi termasuk diskriminasi atas dasar
usia (ageism), jenis kelamin, ras,
agama, cacat, berat dan daya tarik.
Lihat juga: affirmative action, pelecehan seksual.
* Isu-isu yang timbul dari pandangan tradisional tentang hubungan antara
pengusaha
dan karyawan, juga dikenal sebagai
At-akan pekerjaan.
*Isu-isu
seputar representasi karyawan dan demokratisasi tempat kerja: serikat
menyerbu, melanggar pemogokan.
* Isu
mempengaruhi privasi karyawan: pengawasan tempat kerja, pengujian obat. Lihat
juga: privasi.
* Isu
mempengaruhi privasi majikan: whistle-blowing.
*Masalah
yang berkaitan dengan kewajaran kontrak kerja dan keseimbangan kekuasaan
antara majikan dan karyawan:
hukum ketenagakerjaan perbudakan/kuli kontrak.
*
Keselamatan dan kesehatan.
Semua hal di atas juga berkaitan
dengan pengangkatan dan pemecatan karyawan. Di banyak negara maju, seorang
karyawan karyawan atau masa mendatang biasanya tidak bisa dipekerjakan atau
dipecat berdasarkan ras, usia, jenis kelamin, agama, atau tindakan
diskriminatif lainnya.
2.5 Jenis
pasar, Latar Belakang Monopoli, Etika Dalam Pasar Kompetitif
2.5.1 Pasar Persaingan Sempurna
Pengertian pasar persaingan
sempurna adalah suatu bentuk interaksi antara permintaan dengan penawaran di
mana jumlah pembeli dan penjual sedemikian rupa banyaknya/ tidak terbatas.
Ciri-ciri pasar sempurna:
1.
Jumlah penjual dan pembeli yang banyak
2.
Produk yang di perdagangkan sama atau bisa di bilang
homogen
3.
Pemerintah tidak ikut campur tangan dalam proses
pembentukan harga
Jenis-jenis pasar
sempurna:
1.
Jumlah penjual dan pembeli banyak
2.
Barang yang di jual sama/homogen
3. Harga
di tentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran
4. Posisi
tawar konsumen kuat
5. Sensitif
pada perubahan harga
6. Sulit
mendapatkan keuntungan lebih / diatas rata-rata.
2.5.2 Pasar Monopoli
Pasar monopoli adalah suatu bentuk interaksi antara permintaan dan
penawaran di mana hanya ada satu penjual/produsen yang berhadapan dengan banyak
pembeli atau konsumen.
Pasar monopoli memiliki
ciri-ciri:
1. Hanya ada satu produsen yang menguasai penawaran
2. Tidak ada barang substitusi/pengganti yang mirip
3. Produsen memiliki kekuatan menentukan harga
4. Tidak ada pengusaha lain yang bisa memasuki pasar tersebut karena ada
hambatan berupa keunggulan perusahaan
2.5.3
Pasar Oligopoli
Pasar
oligopoli adalah suatu bentuk interaksi permintaan dan penawaran, di mana
terdapat beberapa penjual/produsen yang menguasai seluruh permintaan pasar.
Pasar oligopoli memiliki ciri-ciri:
1. Terdapat beberapa
penjual/produsen yang menguasai pasar.
2. Barang yang diperjual-belikan dapat homogen dan dapat pula berbeda corak
3. Terdapat hambatan masuk yang cukup kuat bagi perusahaan di luar pasar untuk
masuk ke dalam pasar.
2.5.4
Monopoli Dan Dimensi Etika Bisnis
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan
atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan
diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang
tersebut, begitu pula sebaliknya. Ciri utama pasar ini adalah adanya seorang
penjual yang menguasai pasar dengan jumlah pembeli yang sangat banyak. Ciri
lainnya adalah tidak terdapatnya barang pengganti yang memiliki persamaan
dengan produk monopolis; dan adanya hambatan yang besar untuk dapat masuk ke
dalam pasar.
Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan
manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan
bisnis yang etik. Pasar monopoli harus memiliki etika dalam berbisnis yang baik
kepada para pembeli untuk menjual barang tersebut dengan harga yang terjangkau
oleh masyarakat yang berekonomi rendah dan pengusaha pendatang baru diberikan
kesempatan untuk masuk kedalam pasar.
2.5.5
Etika Di Dalam Pasar Kompetitif (Pasar Persaingan Sempurna)
Pasar persaingan sempurna terjadi ketika jumlah produsen sangat
banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah
konsumen yang banyak. Pada pasar persaingan sempurna terdapat persaingan yang
ketat karena setiap penjual dalam satu wilayah menjual barang dagangannya yang
sifatnya homogen. Harga pada pasar persaingan sempurna relatif sama dengan para
pesaing usaha lainnya. Konsumen tentu akan memilih produsen yang dinilai mampu
memberikan kepuasan. Adapun hal yang menjadi faktor kepuasan itu adalah tingkat
pelayanan dan fasilitas-fasilitas penunjang.
Sifat-sifat pasar persaingan
sempurna :
1. Mudah untuk masuk dan keluar dari pasar
2. Sulit memperoleh keuntungan di atas rata-rata
3. Barang yang dijual sejenis, serupa dan mirip satu sama lain
4. Jumlah penjual dan pembeli banyak
5. Posisi tawar konsumen kuat
6. Penjual bersifat pengambil harga
7. Harga ditentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran
Ada dua
etika yang harus di pegang oleh para pelaku pasar agar pasar selalu dalam
kondisi ideal dan fairness, yaitu:
1. Adanya
optimasi manfaat barang oleh pembeli dan penjual. Dapat diartikan sebagai
pertemuan antara kebutuhan pembeli dengan penawaran barang oleh penjual.
Bertemunya dua hal ini, menjadikan barang yang ditransaksikan membawa manfaat,
dan menghilangkan kemubadziran dan kesia-siaan.
2. Pasar harus dalam kondisi ekuiblirium. Teori ekonomi mengenal
ekuiblirium sebagai titik pertemuan antara demand dan supply. ekuiblirium
diartikan sebagai titik pertemuan persamaan hak antara pembeli dan penjual. Hak
yang seperti apa Hak pembeli untuk mendapatkan barang dan hak penjual untuk
mendapatkan uang yang sepantasnya dari barang yang dijualnya. Dalam konteks hak
ini, kewajiban-kewajiban masing-masing pihak harus terpenuhi terlebih dahulu,
kewajiban bagi penjual untuk membuat produk yang berkualitas dan bermanfaat dan
bagi pembeli untuk membayar uang yang sepantasnya sebagai pengganti harga
barang yang dibelinya.
Etika-etika bisnis harus dipegang dan diaplikasikan secara nyata oleh
pelaku pasar. Selain itu, setiap negara telah mempersiapkan SDM yang
berkualitas yang siap berkompetisi. Mereka bisa menjalin kemitraan guna
meningkatkan jumlah produksi dan memenuhi satu sama lain sehingga konsumen akan
tertarik untuk mengkonsumsi produk tersebut.
2.5.6
Kompetisi Pada Pasar Ekonomi Global
Kompetisi global merupakan bertuk persaingan yang mengglobal, yang
melibatkan beberapa Negara. Dalam persaingan itu, maka dibutuhkan trik dan
strategi serta teknologi untuk bisa bersaing dengan Negara-negara lainnya.
Disamping itu kekuatan modal dan stabilitas nasional memberikan pengaruh yang
tinggi dalam persaingan itu. Dalam persaingan ini tentunya Negara-negara maju
sangat berpotensi dalam dan berpeluang sangat besar untuk selalu bisa eksis
dalam persaingan itu. Hal ini disebabkan karena :
1. Teknologi yang dimiliki
jauh lebih baik dari Negara-negara berkembang.
2. Kemampuan modal yang memadai dalam membiayai persaingan global sebagai
wujud investasi mereka.
3. Memiliki masyarakat yang berbudaya ilmiah atau IPTEK.
Alasan-alasan di atas cenderung akan melemahkan Negara-negara yang
sedang berkembang dimana dari sisi teknologi, modal dan pengetahuan jauh lebih
rendah. Bali sendiri kalau kita lihat masih berada diposisi yang sulit, dimana
perekonomian Bali masih didominasi oleh orang-orang asing, misalnya hotel-hotel
besar, dan juga perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kompetisi global juga
menyebabkan menyempitnya lapangan pekerjaan, terutama masyarakat lokal, karena
kebanyakan pekerjaan dilakukan oleh teknologi, dan Negara-negara maju menjadi
pemasok kebutuhan-kebutuhan, sehingga kita cuma bisa menikmati hasil yang sudah
disuguhkan secara cantik yang sebenarnya merupakan ancaman yang sangat besar
bagi bangsa kita. Dilain sisi, lahan pertanian juga akan semakin menyempit.
2.6 Membahas kasus yang ada dalam literature atau
dari media lain yang berhubungan dengan materi
2.6.1 Masalah Korupsi dalam taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada
taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi
dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.
2.6.2 Skandal Suap Leockheed
Lockheed adalah produsen pesawat terbang Amerika
Serikat yang melakukan suap ke berbagai Negara dengan tujuan agar produknya
dapat di pasarkan, lalu terbulaka kasus ini dan dimuat diberbagai media massa
yang menimbulkan reaksi cukub hebat.
Lockheed merasa keberatan dengan Undang-undang anti suap di Amerika.
Terdapat dua keberatan yang sering ditemukan yaitu:
1. Undang-undang ini mempraktekkan semacam imprealisme etis.
2. Undang-undang
ini merugikan bisnis Amerika, karena melemahkan daya saingnya.
Mengapa
pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?
Ada beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap bertentangan
dengan etika.
1. Bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar. Denagan
adanya praktek suap,daya-daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang sedikit
pun dapat mempengaruhi proses penjualan.
2. Bahwa
orang yang tidak berhak, mendapat imbalan juga.
3. Banyak kasus lain di mana uang suap diberikan
dalam keadaan kelangkaan. Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap
mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yng tidak berhak
menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak kebagian.
4. Bahwa praktek suap
mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik
perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya
tidak bisa membukukkan uang suap itu seperti mestinya.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok
sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika
terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek
etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa
masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
2.6.3 Contoh
Kasus Etika Bisnis Internasional Indomie Di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya
pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas.
Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk
melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini
pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme
pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam
memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan
melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah
persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang
lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di
Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan
ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut
biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat
(08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk
Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga
untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie. Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik
menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang
membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga
membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini.
Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan
aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg
nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko
terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota
Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
2.7 Perspektif
etika bisnis dalam ajaran islam dan barat, etika profesi
2.7.1 Beberapa Aspek Etika Bisnis Islami
Salah
satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika
adalah acode or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat
prinsip yang mengatur hidup manusia). bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi
substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut:
1. Membangun kode etik islami yang mengatur,
mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama.
Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari
resiko.
2. Kode
ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku
bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat,
dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3. Kode
etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan
yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4. Kode
etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi
antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja.
5.
Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara
mereka semua.
Berikut ini
ada 5 ketentuan umum etika berbisnis dalam Islam.
1. Kesatuan (Tauhid / Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan
sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan
aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi
keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan
yang menyeluruh.
Dari konsep
ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk
kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu,
vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam
sistem Islam.
2. Keseimbangan (Equilibrium / Adil)
Islam sangat
mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang
atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan.
Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau
menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Dalam
beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat
adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang
beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku
adillah karena adil lebih dekat dengan takwa.”
3.Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan
merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak
adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya
dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
4.
Tanggung jawab
(Responsibility)
Kebebasan
tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara
logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan
mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas
semua yang dilakukannya.
5.
Kebenaran: Kebajikan
dan Kejujuran
Kebenaran
dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis
kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi
proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan
maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
Masyarakat
Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal
ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan
kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan “Akal” sebagai dasar
kebenarannya. Maka, Islam meletakkan “Al-Qur’an” sebagai dasar kebenaran.
2.7.2 Teori Ethical Egoism
Teori
Ethical Egoism, Teori ini hanya melihat diri pelaku sendiri, yang mengajarkan
bahwa benar atau salah dari suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, diukur
dari apakah hal tersebut mempunyai dampak yang baik atau buruk terhadap orang
itu sendiri. Apa dampak perbuatan tersebut bagi orang lain, tidak relevan,
kecuali jika akibat terhadap orang lain tersebut akan mengubah dampak terhadap
pelaku yang bersangkutan
Egoisme Etis
Inti
pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya
bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya
tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan
memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia
cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi
diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar. Egoisme
bermaksud bahawa sesuatu tindakan adalah betul dengan melihat kepada kesan
tindakan kepada individu. lndividu yang berpegang kepada falsafah ini percaya
bahawa mereka harus mengambil keputusan yang dapat memaksimumkan faedah kepada
diri sendiri. Terma “egoisme” berasal dari perkataan “ego”, perkataan Latin
untuk “aku” dalam Bahasa Malaysia. Egoisme perlu dibezakan dengan egotisme yang
bermaksud penilaian berlebihan psikologi terhadap kepentingan sendiri atau
aktiviti sendiri. Teori ini adalah bersifat individualistik.
Terdapat dua kategori utama Egoisme iaitu
Psychological Egoism dan Ethical Egoism.
(a) Egoisme Secara Psikologi
Psychological
Egoism berpandangan bahawa setiap ormg sentiasa didorong oleh tindakan untuk
kepentingan diri. lanya juga mendakwa bahawa manusia sentiasa melakukan
perkara-perkara yang dapat memuaskan hati mereka ataupun yang mempunyai
kepentingan peribadi. Teori ini menerangkan bahawa tidak kira apa alasan yang
diberikan oleh seseorang, individu sebenarnya bertindak sedemikian sematamata
untuk memenuhi hasrat peribadi. Sekiranya pandangan ini benar maka keseluruhan
prinsip etika adalah tidak berguna lagi.
(b) Egoisme Etikal
Ethical
Egoism menegaskan bahawa kita tidak harus mengabaikan secara mutlak kepentingan
orang lain tetapi kita patut mempertimbangkannya apabila tindakan itu secara
langsung akan membawa kebaikan kepada diri sendiri. Ethical Egoism adalah
berbeza dengan prinsip-prinsip moral seperti sentiasa bersikap jujur, amanah
dan bercakap benar. la kerana tindakan tersebut didorong oleh nilai-nilai luhur
yang sedia ada dalam diri manakala dalam konteks ethical egoism pula sesuatu
tindakan adalah didorong oleh kepentingan peribadi. Misalnya, seseorang individu
yang memohon pinjaman akan memaklumkan kepada pegawai bank tentang kesilapan
pihak bank bukan atas dasar tanggungjawab tetapi kerana beliau mempunyai
kepentingan diri.
2.7.3 Teori Relativisme
Relativisme
berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sejalan
dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan
manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat,
melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan pandangan
etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan
yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran
seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun
oleh kaum Skeptik.
Makna
relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin
bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan
budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak
bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham
relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat
mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada
individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
2.7.4 Konsep Deontology
Berasal
dari bahasa yunani Deon yang berarti kewajiban/ Sesuatu yang harus. Etika
deontology ini lebih menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak secara
baik menurut teori ini tindakan baik bukan berarti harus mndatangkan kebaikan
namun berdasarkan baik pada dirinya sendiri jikalau kita bisa katakana ini
adalah mutlak harus dikerjakan tanpa melihat berbagai sudut pandang. Konsep ini
menyiratkan adanya perbedaan kewajiban yang hadir bersamaan. Artinya ada sebuah
persoalan yang kadang baik dilihat dari satu sisi, namun juga terlihat buruk
dari sudut pandang lain.
2.7.5 Pengertian Profesi
Profesi adalah kata serapan
dari sebuah kata dalam bahasa Inggris “Profess”, yang dalam bahasa
Yunani adalah “Επαγγελια”, yang bermakna: “Janji untuk
memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen”.
Profesi juga
sebagai pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap
suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi
profesi , kode etik , serta proses sertifikasi dan lisensiyang
khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang
hukum,kedokteran , keuangan, militer ,teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang
yang berkompeten di suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walau
demikian, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang
menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju
profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya,
sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu
profesi.
2.7.6 Kode Etik
Pengertian
kode etik dan tujuannya – Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai & juga
aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar &
baik & apa yang tidak benar & tidak baik bagi profesional. Kode etik
menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya
definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
ketika melakukan suatu kegiatan / suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola
aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Tujuan
kode etik yaitu supaya profesional memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada
para pemakai atau para nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi
perbuatan dari yang tidak profesional.
2.7.7 Prinsip Etika Profesi
Tuntutan
profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing
profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku
untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang
paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja
prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada
umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum
profesional sejauh mereka adalah manusia.
1.
Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah
satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan
sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang
profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri
menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata,
dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab
menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan
kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu
berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait
langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga
bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan
orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat
dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak
disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa
macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai
telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2.
Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang
yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya
.prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan
perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya
.jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga
kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas
pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang
miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari
beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit
tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu
untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya
kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan.
Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional
dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang
banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan
orang tersebut.
3.
Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang
dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi
kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan
kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional
ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut
campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada
pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang
bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi
tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas
mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang
kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas.
Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu /
peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya
pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan
tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap
profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya
saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi
oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan
profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi
ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara
khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam
menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan
kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa
kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional,
pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar
pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi
itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan
kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas
profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk
kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu
dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah
wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi.
Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan
etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri
profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah
ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama
pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin
dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah.
4.
Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan
ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah
juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia
mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan
juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip
ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam
menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta
citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri
untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang
dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak
akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau
melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya.
Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk
tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara
yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang
diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang,
bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi
mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau
bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat
pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan
mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi
memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain,
prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang
teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya
hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku
profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas
kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya
tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam
melayani masyarakat.
2.8 Pengertian Budaya Organisasi dan
Perusahaan, Hubungan
2.8.1 Karakteristik budaya organisasi
Budaya organisasi adalah
sebuah
sistem makna
bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu
organisasi dari
organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini adalah
sekumpulan
karakteristik kunci
yang dijunjung tinggi oleh organisasi.
Robbins (2007), memberikan 7 karakteristik budaya
sebagai berikut :
1.
Inovasi dan keberanian mengambil resiko
yaitu sejauh mana karyawan diharapkan didorong untuk bersikap inovtif dan
berani mengambil resiko.
2.
Perhatian terhadap detail yaitu sejauh mana
karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal
detil.
3.
Berorientasi pada hasil yaitu sejauh
mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang teknik atau proses yang
digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4.
Berorientasi kepada manusia yaitu sejauh
mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut
atas orang yang ada di dalam organisasi.
5.
Berorientasi pada tim yaitu sejauh mana
kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang individu-individu.
6.
Agresivitas yaitu sejauh mana orang
bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
7.
Stabilitas yaitu sejauh mana
kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam
perbandingannya dengan pertumbuhan.
Sedangkan Schneider dalam (Pearse dan Bear, 1998) mengklasifikasikan
budaya organisasi ke dalam empat tipe dasar:
1.
Control culture.
Budaya impersonal nyata yang memberikan perhatian pada kekonkretan, pembuatan
keputusan yang melekat secara analitis, orientasi masalah dan preskriptif.
2.
Collaborative culture.
Berdasarkan pada kenyataan individu terhadap pengambilan keputusan yang
dilakukan secara people-driven, organic dan informal. Interaksi dan
keterlibatan menjadi elemen pokok.
3.
Competence culture.
Budaya personal yang dilandaskan pada kompetensi diri, yang memberikan
perhatian pada potensi, alternatif, pilihan-pilihan kreatif dan konsep-konsep
teoretis. Orang-orang yang termasuk dalam tipe budaya ini memiliki standar
untuk meraih sukses yang lebih tinggi.
4.
Cultivation culture.
Budaya yang berlandaskan pada kemungkinan seorang individu mampu memperoleh
inspirasi.
Berikut ini merupakan 10 karakteristik dari Budaya
Organisasi :
1. Inisiatif individual
Definisi inisiatif individual adalah tingkat tanggung
jawab (responsibility), kebebasan (freedom) atau independensi (independent)
yang dimiliki setiap individu dalam berpendapat. Kelompok khususnya pimpinan
sebaiknya menghargai dan memang perlu dihargai inisiatif individu dalam suatu
organisasi selama ide dan inisiatif tersebut berguna dalam memajukan dan
mengembangkan organisasi atau perusahaan.
2. Toleransi Terhadap Tindakan
Berisiko
Setiap pegawai dan anggota atau kader perlu ditekankan
tentang batas batas dalam bertindak agresif, inovatif dan mengambil risiko.
Sebuah budaya organisasi yang baik adalah sebuah budaya yang memberikan
toleransi terhadap anggota atau para pegawai dalam bertindak inovatif dan
agresif dalam mengembangkan dan memajukan organisasi atau perusahaan serta
mendorong untuk berani dalam mengambil risiko terhadap apa yang akan dilakukannya.
3. Pengarahan
Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu
organisasi/perusahaan dapat membuat dengan jelas sasaran dan harapan yang
diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut haruslah secara jelas tercantum visi,
misi dan tujuan organisasi (pengertian visi misi). Keadaan yang seperti ini
akan memberikan pengaruh terhadap kinerja organisasi / perusahaan.
4. Integrasi
Integrasi dalam budaya organisasi adalah
kemampuan suatu organisasi atau perusahaan dalam memberikan dorongan terhadap
unit unit atau satuan dalam organisasi atau perusahaan untuk bekerja dengan
terpimpin atau terkoordinasi. Melalui kerja yang kompak dan terkoordinasi
dengan baik dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan
oleh sebuah organisasi atau perusahaan.
5. Dukungan manajamen
Dukungan manajemen dalam budaya organisasi
adalah tentang kemampuan tingkat manajer dalam sebuah organisasi atau
perusahaan dalam berkomunikasi (baca pengertian komunikasi) kepada karyawan.
Komunikasi tersebut harusnya dalam bentuk dukungan, arahan ataupun kritisi
(membangun) kepada bawahan. Dengan adanya dukungan manajemen yang komunikatif,
sebuah perusahaan atau organisasi dapat berjalan dengan mulus.
6. Kontrol
Kontrol dalam budaya organisasi sangat penting.
Kontrol yang dimaksud adalah peraturan atau norma yang digunakan dalam suatu
organisasi atau perusahaan. Oleh karena itu diperlukan sejumlah peraturan dan
tenaga pengawas (atasan langsung) yang berfungsi sebagai pengawas dan
pengendali perilaku pegawai dan karyawan dalam suatu organisasi.
7. Identitas
Identitas dalam budaya organisasi adalah
kemampuan seluruh karyawan dalam suatu organisasi atau perusahaan dalam
mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu kesatuan dalam perusahaan dan bukan
sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian profesional tertentu.
8. Sistem Imbalan
Sistem imbalan tidak kalah pentingnya dalam
budaya organisasi. Sistem imbalan seperti pemberian kenaikan gaji, promosi
(kenaikan jabatan), bonus liburan dan lainnya haruslah berdasarkan kemampuan
atau prestasi karyawan dalam bekerja dan sangat tidak diperbolehkan atas alasan
alasan perusak lainnya seperti senioritas, pilih kasih dan hal hal lain yang
berbau korupsi (baca pengertian korupsi). Sistem imbalan dapat memberikan boost
atau dorongan terhadap prestasi kerja dan memberikan peningkatan dalam perilaku
inovatif dan kerja maksimal sesuai keahlian dan kemampuan yang dimiliki
karyawan atau anggota dalam organisasi.
9. Toleransi terhadap Publik
Dalam budaya organisasi, perbedaan pendapat yang
memunculkan konflik sering terjadi dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Hal
inilah yang harus dilakukan sebagai upper manajement untuk mengarahkan konflik
yang terbangun untuk melakukan perbaikan serta perubahan strategi untuk
mencapai tujuan organisasi. Toleransi terhadap konflik harus dimediasi oleh
pimpinan atau karyawan superior sehingga terjadi kritis membangun dan tidak
saling menyerang.
10. Pola komunikasi
Pola komunikasi dalam perusahaan atau organisasi
sering dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Akan tetapi, pola yang
terlalu ketat akan menghambat perkembangan organisasi karena tidakadanya
hubungan emosional yang kental terhadap bawahan dan atasan dalam organisasi.
Ada lima pola kinerja komunikasi yaitu personal, passion, sosial,
organizational politics, dan enkulturasi.
2.8.2 Fungsi Budaya Organisasi
Budaya
organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi adalah
sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya.
Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi:
1. Batas
Budaya berperan sebagai penentu batas-batas;
artinya, budaya menciptakan perbedaan atau yang membuat unik suatu organisasi
dan membedakannya dengan organisasi lainnya.
2. Identitas
Budaya memuat rasa identitas suatu organisasi.
3. Komitmen
Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap
sesuatu yang lebih besar dari pada kepentingan individu.
4. Stabilitas
Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial
karena budaya adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan
cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan
karyawan.
5. Pembentuk sikap dan perilaku
Budaya bertindak sebagai mekanisme alasan yang
masuk akal (sense-making) serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan
perilaku karyawan. Fungsi terakhir inilah yang paling menarik.
Sebagaimana dijelaskan oleh kutipan berikut, budaya
mendefinisikan aturan main: “Dalam definisinya, bersifat samar, tanmaujud,
implisit, dan begitu adanya. Tetapi, setiap organisasi mengembangkan sekmpulan
inti yang berisi asumsi, pemahaman, dan aturan-aturan implisit yang mengatur
perilaku sehari-hari di tempat kerja. Hingga para pendatang baru mempelajari
aturan, mereka tidak diterima sebagai anggota penuh organisasi. Pelanggaran
aturan oleh pihak eksekutif tinggi atau karyawan lini depan membuat publik luas
tidak senang dan memberi mereka hukuman yang berat. Ketaatan pada aturan
menjadi basis utama bagi pemberian imbalan dan mobilitas ke atas.”
2.8.3 Pedoman Tingkah Laku
Pedoman perilaku merupakan penjabaran nilai-nilai
perusahaan dan etika bisnis dalam melaksanakan usaha sehingga menjadi panduan
bagi organ perusahaan dan semua karyawan perusahaan.
contoh pedoman perilaku di Jasa Marga:
Prinsip Dasar Untuk mencapai keberhasilan dalam
jangka panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi.
Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) yang dapat
menjadi acuan bagi organ perusahaandan semua karyawan dalam menerapkan
nilai-nilai(values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari
budaya perusahaan. Prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan
adalah: Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate
values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan
usahanya .Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan
usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati
oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis
yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan
manifestasi dari nilai – nilai perusahaan. Nilai-nilai dan rumusan
etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam
pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan Pedoman Pokok
Pelaksanaan. Nilai-nilai Perusahaan Nilai-nilai perusahaan merupakan
landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu,
sebelum merumuskan nilai-nilai perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi
perusahaan. Walaupun nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun
dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengansektor usaha serta karakter
dan letak geografis dari masing – masing perusahaan. Nilai-nilai
perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya, adil dan jujur.
2.8.4 Apresiasi Budaya
Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan pengenalan
secara tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap hasil budaya
kegiatan menggauli hasil budaya dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh
pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik
terhadap hasil karya.
Apresiasi kebudayaan adalah penghargaan dan pemahaman
atas budaya (Natawidjaja, 1980), kegiatan menggauli (kebudayaan) dengan
sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis,
dan kepekaan perasaan yang baik (terhadap kebudayaan) (Effendi, 1974), pendek
kata, penghargaan (terhadap kebudayaan) yang didasarkan pada pemahaman
(Sudjiman, 1984).
Tujuan apresiasi adalah menumbuhkan kepekaan dan
keterbukaan terhadap masalah kemanusiaan dan budaya, serta lebih bertanggung
jawab terhadap masalah-masalah tersebut serta menyadarkan kita terhadap
nilai-nilai yang lebih hidup dalam masyarakat, hormat menghormati serta simpati
pada nilai – nilai lain yang hidup dalam masyarakat.
Jadi Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan pengenalan
secara tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap hasil budaya
dan kegiatan menggauli hasil budaya dengan sungguh – sungguh sehingga tumbuh
pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik
terhadap hasil karya.
2.8.5
Hubungan Etika dan Budaya
Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja
karyawan adalah budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang
berkembang dalam suatu organisasi, di mana nilai-nilai tersebut digunakan untuk
mengarahkan perilaku anggota-anggota organisasi (Soedjono, 2005). Perilaku
karyawan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka bekerja yang
dibentuk melalui budaya organisasi, di mana keberadaan budaya dalam suatu
organisasi diharapkan akan meningkatkan kinerja karyawan. Selain berpengaruh
terhadap kinerja karyawan, budaya organisasi juga memiliki keterkaitan yang
erat dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para
karyawan memandang pekerjaannya (Handoko, 1998, dalam Widodo, 2006). Apabila
persepsi karyawan terhadap budaya dalam suatu organisasi baik, maka karyawan
akan merasa puas terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, apabila persepsi karyawan
terhadap budaya dalam suatu organisasi tidak baik, maka karyawan cenderung
tidak puas terhadap pekerjaannya (Robbins dan Judge, 2008). Karyawan yang
merasa puas terhadap pekerjaannya dan menggangap pekerjaannya sebagai sesuatu
yang menyenangkan akan cenderung memiliki kinerja yang baik.
Robbins dan Judge (2008) mengartikan budaya organisasi
sebagai sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Menurut Robbins dan
Judge (2008) budaya organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para
anggota organisasi. Oleh karena itu, diharapkan bahwa individu – individu yang
memiliki latar belakang berbeda atau berada pada tingkatan yang tidak sama
dalam organisasidapat memahami budaya organisasi dengan pengertian yang serupa.
Hofstede (1986, dalam Koesmono, 2005) menyatakan bahwa budaya merupakan
berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok
orang dalam lingkungannya. Agar budaya organisasi dapat berfungsi secara
optimal, maka budaya organisasi harus diciptakan, dipertahankan, dan diperkuat
serta diperkenalkan kepada karyawan melalui proses sosialisasi (Nurtjahjani dan
Masreviastuti, 2007). Melalui sosialisasi ini, karyawan diperkenalkan tentang
tujuan, strategi, nilai-nilai, dan standar perilaku organisasi serta informasi
yang berkaitan dengan pekerjaan.
Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan : Meta-ethical
cultural relativism merupakan cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan
bahwa tidak ada kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus selalu
disesuaikan dengan budaya dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita karena
setiap komunitas sosial mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap
kebenaran etika.
Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral
dapat digunakan okeh manusia sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan
perangainya. Etika selalu berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran
atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus
selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl
mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana
kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung
budaya yang berlaku. Prinsip moral sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma
yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya
yang berlaku di lingkungan sosial tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo
beranaggapan bahwa tindakan infantisid (membunuh anak) adalah tindakan yang
biasa, sedangkan menurut budaya Amerika dan negara lainnya tindakan ini
merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu premis yang disebut dengan “Dependency Thesis”
mengatakan “All moral principles derive their validity from cultural
acceptance”. Penyesuaian terhadap kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya
harus dipertahankan dan dibutuhkan suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.
Etika perusahaan menyangkut hubungan:
1.
Perusahaan dan karyawan sebagai satu
kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan lain atau masyarakat
setempat).
2.
Etika kerja terkait antara perusahaan
dengan karyawan.
3.
Etika perorangan mengatur hubungan antar
karyawan.
Faktor utama yang dapat menciptakan iklim etika dalam perusahaan :
1.
Terciptanya budaya perusahaan secara
baik.
2.
Terbangunnya suatu kondisi organisasi
berdasarkan saling percaya (trust-based- organization).
3.
Terbentuknya manajemen hubungan antar
pegawai (employee relationship management).
Iklim etika dalam perusahaan dipengaruhi oleh adanya interaksi
beberapa faktor :
1.
Faktor kepentingan diri sendiri
2.
Keuntungan perusahaan
3.
Pelaksanaan efisiensi
4.
Kepentingan kelompok
2.8.6 Pengaruh Etika Terhadap Budaya
Etika seseorang dan etika bisnis adalah satu
kasatuan yang terintegrasi sehingga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya, keduanya saling melengkapi dalam mempengaruhi perilaku antar individu
maupun kelompok, yang kemudian menjadi perilaku organisasi yang akan
berpengaruh terhadap budaya perusahaan. Jika etika menjadi nilai dan keyakinan
yang terinternalisasi dalam budaya perusahaan, maka akan berpotensi menjadi
dasar kekuatan perusahaan dan akhirnya akan berpotensi menjadi stimulus dalam
peningkatan kinerja karyawan. Terdapat pengaruh yang signifikan antara etika
seseorang dari tingkatan manajer terhadap tingkah laku etis dalam pengambilan
keputusan. Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan pekau
terhadap adanya masalah etika dalam profesinya sangat dipengaruhi oleh
lingkungan, sosial budaya, dan masyarakat dimana dia berada. Budaya
perusahaan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap perilaku etis.
Perusahaan akan menjadi lebih baik jika mereka membudayakan etika dalam
lingkungan perusahaannya.
Perilaku etis dapat menimbulkan saling percaya antara
perusahaan dengan stakeholder. Perilaku etis dapat mencegah pelanggan, pegawai
dan pemasok bertindak oportunis, serta tumbuhnya saling percaya. Budaya
perusahaan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan perilaku etis.
Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku etis atau sebaliknya dapat
mendorong terciptanya perilaku tidak etis. Berikut adalah Faktor yang
menyebabkan terciptanya iklim etika dalam perusahaan:
·
Terciptanya budaya perusahaan secara
baik.
·
Terbangunnya suatu kondisi organisasi
berdasarkan saling percaya.
·
Terbentuknya manajemen hubungan antar
pegawai.
2.8.7 Kendala Mewujudkan Kinerja Bisnis
Mentalitas para pelaku bisnis, terutama top
management yang secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja
Bisnis. Perilaku perusahaan yang etis biasanya banyak bergantung pada kinerja
top management, karena kepatuhan pada aturan itu berjenjang dari mulai atas ke tingkat
bawah.
Faktor budaya masyarakat yang cenderung
memandang pekerjaan bisnis sebagai profesi yang penuh dengan tipu muslihat dan
keserakahan serta bekerja mencari untung. Bisnis merupakan pekerjaan yang
kotor. Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat kita memiliki
persepsi yang keliru tentang profesi bisnis.
Faktor sistem politik dan sistem kekuasaan yang
diterapkan oleh penguasa sehingga menciptakan sistem ekonomi yang jauh dari
nilai-nilai moral. Hal ini dapat terlihat dalam bentuk KKN.
Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia
masih berhadapan dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf`(1993:81-83)
menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:
1.
Standar moral para pelaku bisnis pada
umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka
menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh
keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran,
timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan
keuangan.
2.
Banyak perusahaan yang mengalami konflik
kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya
ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang
berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi
yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar
perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan
masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal
karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.
3.
Situasi politik dan ekonomi yang belum
stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik
yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan
masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari
dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang
buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna
memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4.
Lemahnya penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di
pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di
pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis
menegakkan norma-norma etika.
5.
Belum ada organisasi profesi bisnis dan
manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
2.9 Hubungan
perusahaan dengan stakehoulder, lintas budaya dan pola hidup, audit
sosial
2.9.1 Bentuk Stakeholder
Pengertian
stakeholder dalam konteks ini adalah tokoh – tokoh masyarakat baik formal maupun
informal, seperti pimpinan pemerintahan (lokal), tokoh agama, tokoh adat,
pimpinan organisasi social dan seseorang yang dianggap tokoh atau pimpinan yang
diakui dalam pranata social budaya atau suatu lembaga (institusi), baik yang
bersifat tradisional maupun modern.
§ Macam – macam
Stakeholder.
Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu
issu, stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu
stakeholder primer, sekunder dan stakeholder kunci.
· Stakeholder Utama (Primer)
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang
memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program,
dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses
pengambilan keputusan.
· Stakeholder Pendukung
(Sekunder)
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah
stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap
suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan
keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap
masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
· Stakeholder Kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang
memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder
kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan
instansi. Stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level
daerah kabupaten.
Yang
termasuk dalam stakeholder kunci yaitu :
1.
Pemerintah Kabupaten
2.
DPR Kabupaten
3.
Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
Bentuk
dari stakeholder bisa kita padukan dengan Bentuk kemitraan dengan komite sekolah, dunia usaha, dan
dunia industri (DUPI) dan Industri Lainnya.
Bentuk kemitraan yang dapat dilakukan oleh tenaga
kependidikan dengan stakeholder antara lain berupa:
1. Kerjasama dalam penggalangan dana pendidikan baik untuk
kepentingan proses pembelajaran, pengadaan bahan bacaan (buku), perbaikan
mebeuler sekolah, alat administrasi sekolah, rehabilitasi bengunan sekolah
maupun peningkatan kualitas guru itu sendiri.
2. Kerjasama
penyelenggaraan kegiatan pada momen hari – hari besar nasional dan keagamaan.
3. Kerjasama
dengan sponsor perusahaan dalam rangka meningkatkan kualitas gizi anak sekolah,
seperti dengan perusahaan susu atau makanan sehat bagi anak – anak sekolah, dan
bentuk kemitraan lain yang sesuai dengan kondisi setempat.
2.9.2 Stereotype, Pejudice, Stihma Sosial
· Stereotype
adalah generalisasi yang tidak akurat yang didasarkan pada prejudice. Kita
semua memegang stereotype terhadap kelompok orang lain.
§ Contoh dari Stereotype , ketika
kita sudah beranggapan begitu pada suatu suku,
maka kita tidak akan menempatkan dia
pada suatu posisi yang kita rasa gak
cocok.
· Sedangkan
Prejudice adalah attitude yang bersifat bahaya dan didasarkan pada generalisasi
yang tidak akurat terhadap sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama,sex,
umur , dll. Berbahaya disini maksudnya attitude tersebut bersifat negative.
§ Contoh dari Prejudice misalnya
kita menganggap setiap orang pada suku tertentu itu malas, pelit , dan lain nya
· Stigma
sosial adalah tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena
kepercayaan bahwa orang tersebut melawan norma yang
ada. Stigma sosial sering menyebabkan pengucilan seseorang ataupun kelompok.
§ Contoh dari stigma social
misalnya sejarah stigma sosial dapat terjadi pada orang yang berbentuk fisik
kurang atau cacat mental, dan juga anak luar kawin, homoseksual atau
pekerjaan yang merupakan nasionalisasi pada agama atau etnis,
seperti menjadi orang Yahudi atau
orang Afrika Amerika.
Kriminalitas juga membawa adanya stigma sosial.
2.9.3 Mengapa Perusahaan Harus Bertanggung Jawab
Suatu
organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah
memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya,
yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang
saham, komunitas dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan“,
yakni suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya
harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek
ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden,
tetapi juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari
keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih
panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi
perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen
dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap
seluruh pemangku kepentingannya.
2.9.4 Komunitas Indonesia Dan Etika Bisnis
Dalam
kehdupan komunitas atau komunitas secara umum, mekanismne pengawasan
terhadap tindakan anggota-anggota komunitas biasanya berupa larangan-larangan
dan sanksi-sanksi sosial yang terimplementasi di dalam atura adat.
Sehingga tampak bahwa kebudayaan menjadi sebuah pedoman bagi berjalannya
sebuah proses kehidupan komunitas ataukomunitas. Tindaka karyawan
berkenaan dengan perannya dalam pranata sosial perusahaandapat menen tukan
keberlangsungan aktivitas.
Kelompok
komunitas yang terarah yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk bekerja
dengan auditor sosial dalam mereview. Pemeriksaan sosial dan mengambil tempat
dalam pertemuan review.
Buku
catatan sosial Diartikan oleh informasi yang rutin dikumpulkan selama setahun
untuk mencatat wujud dalam kaitannya pada pernyataan sasaran sosial.
Stakeholder ; Orang atau
kelompok yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aktivitas organisasi
atau perusahaan.
Target ; Suatu tingkat
keinginan yang dicapai dan biasanya didasari pada perencanaan yang telahdisusun
sebelumnya.
Transparasi ; Sebuah
organisasi, dalam perhitungan yang terbuka dalam perhitungan sosial
bahwastakeholder mempunyai pemahaman yang baik tentang organisasinya dan
tingkah lakunyayang diwujudkan dan bagaimana hal tersebut dilaksanakan.
Triple bottom line ; Sebuah
organisasi menciptakan laporan tahunan yang mencakup finansial, lingkungan
dangambaran sosial. Nilai (value)Kunci dari prinsip-prinsip yang diatur
oleh beroprasinya organisasi dan yang mempengaruhi jalannya organisasi
serta tingkah laku anggota-anggotanya.
Verifikasi ; Sebuah proses dari
audit sosial dimana orang auditor dan laporan auditnya dibuat panel
yangmenyertakan perhitungan sosial dan informasi yang didasari pada apa yang
akandilaksanakan dan pernyataan-pernytaan yang didasari pada kompotensi serta
data yangreliabel.
Pernyataan visi ; (sebagai
pernyataan misi) sebuah kalimat atau lebih kalimat yang secara jelas dan
nyatamembawa inti dari organisasi tentang kesiapan serta pengrtian yang mudah
diingat.
Kertas informasi ; Auditing
sosial mengecek bahwa kita sudah berada pada jalur yang benar. Audit sosial
; Adalah proses dimana sebuah organisasi dapat menaksir untuk keberadaan
sosialnya, laporan pada organisasi tersebut dan mningkatkan keberadaannya.
2.9.5 Dampak Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Ke
depan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, apabila dilaksanakan dengan benar, akan
memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan, termasuk sumber daya
manusia, sumber daya alam dan seluruh pemangku kepentingan dalam masyarakat. Perusahaan
yang mampu sebagai penyerap tenaga kerja, mempunyai kemampuan memberikan
peningkatan daya beli masyarakat, yang secara langsung atau tidak, dapat
mewujudkan pertumbuhan lingkungan dan seterusnya. Mengingat kegiatan perusahaan
itu sifatnya simultan, maka keberadaan perusahaan yang taat lingkungan akan
lebih bermakna.
Pada
dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam,
pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi
eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun demikian
nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan dan
perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan
lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai
negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang
bersangkutan mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau
seberapa luas perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari
kegiatan perusahaan.
2.9.6 Mekanisme Pengawasan Tingkah Laku
Mekanisme
Pengawasan Tingkah Laku Mekanisme dalam pengawasan terhadap para karyawan
sebagai anggota komunitas perusahaan dapat dilakukan berkenaan dengan
kesesualan atau tidaknya tingkah laku anggota tersebut denga budaya yang
dijadikan pedoman korporasi yang bersangkutan. Mekanisme pengawasan
tersebut berbentuk audit sosal sebagai kesimpulan dari monitoring dan evaluasi
yang dilakukan sebelumnya.
Pengawasan
terhadap tingkah laku dan peran karyawan pada dasarnya untuk menciptakan
kinerja karyawan itu sendiri yang mendukung sasaran dan tujuan dari
proses berjalannya perusahaan. Kinerja yang baik adalah ketika tindakan
yang diwujudkan sebagai peran yang sesuai dengan status dalam pranata yang
ada dan sesuai dengan budaya perusahaan yang bersangkutan.
Berkaitan
dengan pelkasanaan audit sosial, maka sebuah perusahaan atau organisasi harus
jelas terlebih dahulu tentang beberapa aktivitas yang harus dijalankan seperti;
1. Aktivitas apa saja yang
harus dilakukan sebagai sebuah orgnisasai, dalam hal ini sasaran apa yang
menjadi pokok dari perusahaan yang harus dituju internal maupun eksternal
(sasaran)
2. Bagaimana cara melakukan
pencapaian dari sasaran yang dituju tersebut sebagai
rangkaian suatu tindakan (rencana
tindakan) yang mengacu pada suatu pola dan
rencana yang sudah disusun sebelumnya.
3. Bagaimana mengukur dan
merekam pokok-pokok yang harus dilakukan berkaitan
dengan sasaran yang dituju, dalam hal
ini keluasan dari kegiatan yang dilakukan
tersebut (indikator)
Konsep Audit Sosial
Konsep- konsep yang berkenaan
dengan audit sosial yang telah dilakukan.
1. Social Enterprise Partnership
(SEP)
Audit
sosial adalah sebuah met ode yang dilakukan berkenaan dengan sebuah organisai
(perusahaan, lembga dan sebagainya), dalam merencanakan, mengatur dan mengukur
aktivitas nn finansial serta untuk memantau (memonitor) konsekuensi secara
eksternal dan internal sekaligus dari sebuah organisasi atau perusahaan yang
bersifat komersial’.
2. The New Economics Foundation
(NEF)
Audit
sosial adalah suatu proses dimana sebuah organisasi dapat menghitung untuk
keadaan sosial, laporan pada dan meningkatkan keadaan sosial tersebut. Audit
sosial bertujuan menilai dampak sosial yang ditimbulkan oleh organisasi dan
tingkah laku anggota – anggota yang beretika dari sebuah organisasi dalam
hubungannya dengan tujuan organisasi tersebut serta hubungannya dengan
keseluruhan stakeholder yang terkait dengannya’. Konsep ini menggambarkan bahwa
audit sosial lebih merupakan suatu penilaian dampak sosial dari adanya program
atau social impact assessment.
3.
The
Northern Ireland Co-operative Development Agency (NICDA)
Audit
sosial adalah sebuah proses yang dapat dilakukan oleh sebuah organisasi dan
agen – agennya untuk menilai dan mewujudkan keuntungan sosial mereka,
keuntungan komunitas dan keuntungan lingkungan serta keterbatasannya. Sehingga
audit sosial adalah sebuah cara untuk mengukur keluasan dari sebuah organisasi
untuk dapat hidup dalam berbagai nilai dan sasaran yang sudah disetujui untuk
bekerja sama.
4.
Model
dan Keuntungan Audit social
Sebagai
penilaian perwujudan perusahaan dalam aktivitasnya di komunitas dan ini digambarkan
oleh sejauh obyek-obyek sosial yang diminati termasuk di dalamnya informasi dan
opini, yang menyatkan keadaan perusahaan secara keseluruhan dan bagaimana
bentuk dari perusahaan itu sendiri.
2.10 Peran
Sistem Pengaturan, Good Governance
2.10.1 Definisi Pengaturan
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Peraturan adalah ketentuan yang mengikat warga kelompok
masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalikan tingkah laku yang
sesuai dan diterima: setiap warga masyarakat harus menaati aturan yang berlaku;
atau ukuran, kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau
membandingkan sesuatu.
Peraturan merupakan pedoman agar manusia hidup tertib
dan teratur. Jika tidak terdapat peraturan, manusia bisa bertindak
sewenang-wenang, tanpa kendali, dan sulit diatur.
Jadi definisi dari peraturan adalah suatu perjanjian
yang telah dibuat untuk kepentingan umum, tentang apa saja yang boleh dilakukan
dan tidak boleh dilakukan.
2.10.2 Karakteristik Good Governance
Dalam hal ini, ada Sembilan karakteristik good governance dari United
Nation Development Program (UNDP), yakni;
1. Partisipasi
Konsep
partisipasi tentu sejalan dengan system pemerintahan yang demokrasi yang
diterapkan di Indonesia. Partisipasi secara sederhana berarti adanya peran
serta dalam suatu lingkungan kegiatan. Peran serta disini menyangkut akan
adanya proses antara dua atau lebih pihak yang ikut mempengaruhi satu sama lain
yang menyangkut pembuatan keputusan, rencana, atau kebijakan. Tujuan utama
dari adanya partisipasi sendiri adalah untuk mempertemukan kepentingan yang
sama dan berbeda dalam suatu perumusan dan pembuatan kebijakan secara berimbang
untuk semua pihak yang terlibat dan terpengaruh.
2. Rule of law
Rule of low berarti penegakan hukum yang adil
dan tanpa pandang buluh, yang mengatur hak-hak manusia yang berarti adnya
supremasi hukum. Menurut Bargir manan (1994).
3. Transparansi
Transparansi berarti adanya keterbukaan
terhadap publik sehingga dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan
mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi badan usaha, terutama para pemberi
pelayanan publik. Transparansi menyangkut kebebasan informasi terhadap publik.
Satu hal yang membedakan organisasi swasta dan publik adalah dalam masalah
transparansi sendiri.
5. Responsif
Responsif berarti cepat tanggap. Birokrat
harus dengan segera menyadari apa yang menjadi kepentingan public (public
interest) sehingga cepat berbenah diri. Dalam hal ini, Birokrasi dalam
memberikan pelayanan publik harus cepat beradaptasi dalam memberikan suatu
model pelayanan.
6. Berorientasi Pada Consensus
Berorientasi pada consensus berarti pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara
para actor yang terlibat. Hal ini sejalan dengan konsep partisipatif dimana
adanya keterlibatan dari masyarakat dalam merumuskan secara bersama mengenai
hal pelayanan publik.
6. Keadilan
Keadilan berarti semua orang (masyarakat),
baik laki-laki maupun perempuan, miskin dan kaya memilik kesamaan dalam
memperoleh pelayanan publik oleh birokrasi. Dalam hal ini, birokrasi tidak
boleh berbuat diskriminatif dimana hanya mau melayani pihak-pihak yang dianggap
perlu untuk dilayani, sementara ada pihak lain yang terus dipersulit dalam
pelayanan bahkan tidak dilayani sama sekali.
7. Efektif dan efisien
Efektif secara sederhana berarti tercapainya
sasaran dan efisien merupakan bagaimana dalam mencapai sasaran dengan sesuatu
yang tidak berlebihan (hemat). Dalam bentuk pelayanan publik, hal ini berarti
bagaimana pihak pemberi pelayanan melayani masyarakat seefektif mungkin dan
tanpa banyak hal-hal atau prosedur yang sebenarnya bisa diminimalisir tanpa
mengurangi efektivitasnya.
8. Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti tanggung gugat yang
merupakan kewajiban untuk member pertanggung jawaban dan berani untuk
ditanggung gugat atas kinerja atau tindakan dalam suatu organisasi. Dalam
pemberian pelayanan publik, akuntabilitas dapat dinilai sudah efektifkah
prosedur yang diterapkan oleh organisasi tersbut, sudah sesuaikah
pengaplikasiannya, dan bagaiman dengan pengelolaan keuangannya, dan lain-lain.
9. Strategic vision
Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat
harus memiliki visi jauh kedepan. Pemerintah dan masyarakat harus memiliki
kesatuan pandangan sesuai visi yang diusung agar terciptanya keselarasan dan
integritas dalam pembangunan, dengan memperhatikan latar belakang sejarah,
kondisi social, dan budaya masyarakat.
2.10.3 Commission
Of Human Right (Hak Asasi Manusia)
Commission of human right (Hak asasi manusia) adalah hak dasar yang
dimiliki setiap manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat
dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang
hidup, maka bila tidak ada hak tersebut mustahil kita dapat hidup sebagai
manusia. Hak asasi manusia diperoleh/didapat manusia dari Penciptanya yaitu
Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang
demikian, maka tidak ada kekuatan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak
asasi setiap manusia, karna HAM bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.
Commission of human right (Hak asasi manusia) ini tertuang dalam UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut UU tersebut, hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang. demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan
piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak
asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari
1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10
Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris
menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi
Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang
umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2
negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati
sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa setiap
orang mempunyai Hak:
1. Hidup
2. Kemerdekaan
dan keamanan badan
3. Diakui
kepribadiannya
4. Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk
mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum,
dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah.
5. Masuk
dan keluar wilayah suatu Negara
6. Mendapatkan
asylum
7. Mendapatkan
suatu kebangsaan
8. Mendapatkan
hak milik atas benda
9. Bebas
mengutarakan pikiran dan perasaan
10. Bebas memeluk agama
11. Mengeluarkan pendapat
12. Berapat dan berkumpul
13. Mendapat jaminan sosial
14. Mendapatkan pekerjaan
15. Berdagang
16. Mendapatkan pendidikan
17. Turut serta dalam gerakan kebudayaan
dalam masyarakat
18. Menikmati kesenian dan turut serta
dalam kemajuan keilmuan
2.10.4 Kaitannya
Good Governance Dengan Etika Bisnis
1. Code of Corporate and Business Conduct
Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di
perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan
implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik
tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan
praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan
atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam
budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan
perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan
“mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan.
Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat
termasuk kategori pelanggaran hukum.
2.
Nilai Etika Perusahaan
Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan
sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada
akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value).
Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG,
yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama.
Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan
saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan
& pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan
(action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh
seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi
rahasia dan benturan kepentingan (conflict of interest).
2.11 Memberikan Contoh Tentang Perilaku
Bisnis Yang Melanggar Etika
2.11.1 Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak
legalmenyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Dalam arti yang luas, korupsi
atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya Menurut para ahli Black’s Law Dictionary
korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak -
hak dari pihak lain. Menurut para ahli Syeh Hussein Alatas korupsi, yaitu
subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi
dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa
akan akibat yang diderita oleh masyarakat.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 korupsi yaitu “Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman
negara…”Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 korupsi yaitu “Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian Negara”.
Hubungan Korupsi dengan Etika Bisnis
Hubungan
korupsi dengan etika bisnis dapat dipahami dalam kehidupan pemerintahan sebagai
suatu keadaan, di mana jika etika dipegang teguh sebagai landasan tingkah laku
dalam pemerintahan, maka penyimpangan seperti korupsi tidak akan terjadi
Korupsi
dan etika bisnis merupakan satu kesatuan. Jika kita sudah memahami betul apa
saja yang harus diperhatikan dalam berbisnis, maka tindakan korupsi tidak
mungkin dilakukan.tindakan korupsi jelas – jelas melanggar etika bisnis, karena
kegiatan tersebut sangatlah merugikan banyak pihak. Intinya kita harusmengerti
dulu apa saja etika dalam berbisnis, baru kita memulai bisnis. Agar bisnis kita
tidak melanggar peraturan.
Misalnya
kode etik pada PNS yang merupakan norma-norma sebagai pedoman sikap, tingkah
laku dan perbuatan PNS yang diharapkan dan dipertangung jawabkan dalam
melaksanakan tugas pengabdiannya kepada bangsa, negara dan masyarakat dan
tugas-tugas kedinasan, organisasinya serta pergaulan hidup sehari-hari sesama
PNS dan individu-individu di dalam masyarakat.
Contoh kasus :
Demokrat Pastikan Dukung KPK Tuntaskan Kasus Nazaruddin REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, mengatakan pihaknya
menyerahkan kasus Nazaruddin sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
“Bagi kita, kasus ini kita serahkan semua ke KPK, sebagai penegkak
hukum, tidak ada intervensi, tidak ada menghambat, kita dukung KPK selesaikan
kasus ini,” katanya seusai diskusi di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, garis partai sudah tegas untuk tetap menaati konstitusi.
Partainya tidak akan melakukan manuver ataupun usaha-usaha menghambat kasus
Nazaruddin.
Menurut dia, selama kasus ini
terus-menerus terkatung-katung, maka Partai Demokrat justru akan terpenjara
isu-isu yang berkembang liar. Untuk itu, pihaknya juga berkepentingan untuk segera
menyelesaikan masalah ini. Ia menambahkan, pihaknya saat ini terus melakukan
bersih-bersih partai terhadap kader yang tak taat etika. Ia juga membantah
Nazaruddin telah menaniggalkan dananya kepada kas Partai Demokrat saat
meninggalkan Singapura. “Tidak ada ditinggalkan dana oleh Nazaruddin,” katanya.
Ia menegaskan, Nazaruddin merupakan kasus korupsi individual bukan partai
politik. Menurut dia, kasus Nazaruddin telah memberikan pelajaran berharga bagi
partainya dan partai lain.
Ia menambahkan, selama SBY masih berada di Partai Demokrat, ia percaya
dan optimis, Demokrat dapat membersihkan diri. “Saya percaya dengan Pak SBY,
ini bukan kultus individual,” katanya.
2.11.2 Pemalsuan
Permasalahan
etik dalam pemalsuan merek adalah tidak menghargai hasil karya cipta seseorang
yang menciptakan produk unggul yang bermanfaat bagi semua orang, tiba-tiba
dibajak atau ditiru dengan mengambil karya orang lain untuk keuntungan diri
sendiri, contohnya yang banyak beredar di masyarakat adalah pemalsuan DVD/VCD
dan pakaian baju,kaos, celana yang dengan sengaja menciptakan merk yang sama
tetapi kualitas berbeda jauh dengan yang asli oleh karena itu produk bajakan
harganya sangat murah, masyarakat pun memilih untuk membeli produk bajakan
karena harganya murah dan tidak jauh berbeda kualitasnya dengan yang asli.
mengapa hal ini terjadi? karena tidak ada aturan yang baku untuk menahan
gejolak ini, bahkan pemerintah pun tidak mampu untuk menahan gejolak ini. peran
serta negara pengusaha bahkan masyarakat sebagai konsumen yang sangat
dibutuhkan, kunci utama yang perlu ditekankan adalah kesadaran masyarakat untuk
membeli produk asli bukan bajakan.membeli produk asli akan meningkatkan
produktifitas pencipta dan memberikan kontribusi terhadap negara.
2.11.3 Pembajakan
Pembajakan di Industri
Musik dan Film Indonesia :
Kasus
pembajakan dalam industri musik dan film di Indonesia sudah menjadi sesuatu
yang biasa di masyarakat umum namun sesungguhnya hal tersebut sangat merugikan
bagi para pelaku bisnis di industri musik dan film di Indonesia, namun karena
lemahnya pengawasan pemerintah dan kurang tegasnya tindakan hukum bagi
oknum-oknum pelaku pembajakan, membuat para pelaku tidak jera terhadap
perbuatannya. Banyaknya kios-kios yang menjual barang-barang bajakan membuat semakin
pelik masalah pembajakan di indonesia.
Analisa
:
Etika
Bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis yang mencakup seluruh
aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, dan juga masyarakat. Dalam
kasus diatas mencerminkan etika bisnis yang buruk, orientasi pada keuntungan
semata sehingga melupakan aspek-aspek lainnya. Melanggar aturan dan
perundang-undangan menjadi hal biasa sehingga hukum tidak menjadi hal yang
menakutkan bagi para pelaku kejahatan pembajakan. Oknum-oknum tersebut berkilah
mereka menjual barang bajakan karena banyaknya permintaan masyarakat terhadap
barang tersebut, namun hal tersebut bukan menjadi alasan untuk menjalankan
bisnis yang melanggar etika bisnis karena apabila oknum-oknum tersebut tetap
pada koridor etika bisnis maka masyarakat akan membeli barang yang asli. Maka
dari itu semua kalangan dan pemerintah khususnya harus menerapkan aturan dan
menjalankan aturan yang ada sehingga kejahatan pembajakan karya cipta dapat di
minimalisir.
2.11.4 Diskriminasi Gender
What is
job discrimination?
Diskriminasi
pekerjaan adalah tindakan pembedaan, pengecualian, pengucilan, dan pembatasan
yang dibuat atas dasar jenis kelamin, ras, agama, suku, orientasi seksual, dan
lain sebagainya yang terjadi di tempat kerja.
Dari
data yang kami himpun dari berbagai artikel, rupanya diskriminasi terhadap
perempuan di dunia kerja sampai saat ini masih banyak dijumpai di
perusahaan-perusahaan. Topik yang kami pilih pun terkait wanita yang kami amati
dari segi kasus kehamilan, stereotype gender, dan agama (teruma muslim).
Diskriminasi
pekerjaan terhadap wanita hamil ada indikasi, beberapa perusahaan banyak yang
memasung hak-hak reproduksi perempuan seperti pemberian cuti melahirkan bagi
karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefisiensi. Perempuan dianggap
mengganggu produktivitas perusahaan sehingga ada perusahaan yang mensyaratkan
calon karyawan perempuan diminta untuk menunda perkawinan dan kehamilan selama
beberapa tahun apabila mereka diterima bekerja. Syarat ini pun menjadi dalih
sebagai pengabdian perempuan kepada perusahaan layaknya anggota TNI yang baru
masuk. Meskipun undang-undang memberi wanita cuti melahirkan selam 3 bulan,
yakni 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, wanita
yang sedang hamil atau melahirkan masih sering dipecat atau diganti ketika
sedang cuti. Hal ini terjadi pada perusahaan yang tidak begitu baik tingkat
pendapatannya. Mereka rugi bila harus menanggung biaya atau memberikan gaji
bagi yang cuti.
Diskriminasi
pekerjaan karena stereotype gender tak dipungkiri, dalam masyarakat Indonesia
dan beberapa Negara, wanita kebanyakan ditempatkan pada tugas-tugas
administrasi dengan bayaran lebih rendah dan tidak ada prospek kenaikan
jabatan. Masih ada stereotype yang ‘menjebak’ bahwa wanita identik dengan
“penampilan menarik”, hal ini seringkali dicantumkan dalam kriteria persyaratan
sebuah jabatan pada lowongan pekerjaan. Pegawai perempuan sering mengalami
tindakan yang menjurus pada pelecehan seksual. Misalnya, ketika syarat yang
ditetapkan perusahaan adalah harus memakai rok pendek dan cenderung menonjolkan
kewanitaannya.
Diskriminasi
terhadap wanita muslim kasus yang terbaru untuk kategori diskriminasi ini ini
adalah terjadi di Inggris. Hanya karena mengenakan busana Muslim, banyak wanita
Muslimah berkualitas di Inggris mengalami diskriminasi dalam pekerjaan mereka.
Laporan EOC menunjukkan bahwa 90% kaum perempuan Muslim asal Pakistan dan
Banglades mendapat gaji yang lebih rendah dan tingkat penganggurannya tinggi. Kasus
lain juga terjadi di Perancis, pada kwartal akhir tahun 2002. Seorang pekerja
wanita dipecat perusahaan tempatnya bekerja lantaran menolak menanggalkan
jilbab yang dikenakannya saat bekerja. Padahal dirinya telah bekerja di tempat
tersebut selama 8 tahun. Menurut laporan BBC News, tindakan ini dipicu oleh
tragedi 11 September 2001 adanya pesawat yang menabrak WTC di Amerika Serikat.
Beberapa
contoh ekstrim kenyataan saat ini bahwa banyak perempuan harus bekerja di luar
rumah untuk membantu suami menambah penghasilan keluarga ternyata tidak
selamanya dipandang positif. Kejadian yang menimbah Ny. Lilis, istri guru
Sekolah Dasar Negeri di Tangerang, menjadi contoh hal ini. Ny. Lilis ditangkap
polisi satpol PP atas aturan jam malam bagi wanita yang diindikasikan sebagai
pelacur atau pekerja seks komersial. Pada saat itu, Ny. Lilis sedang menunggu
angkutan umum untuk pulang ke rumahnya setelah pulang dari bekerja di sebuah
rumah makan pada malam hari. Dengan hanya mencurigai gerak-geriknya dan tanpa
ada bukti atau introgasi awal, Ny. Lilis ditangkap begitu saja dan sempat
dihukum penjara. Mirisnya lagi, Ny. Lilis saat itu juga sedang hamil. Dia
bekerja karena untuk membantu menambah penghasilan suaminya yang habis untuk
membayar berbagai pinjaman guna meyambung hidup sehari-hari.
Penyebab
terjadinya diskriminasi kerja beberapa penyebab yang menimbulkan adanya
diskriminasi terhadap wanita dalam pekerjaan, di antaranya : pertama, adanya
tata nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia yang umumnya lebih
mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriaki). Kedua, adanya
bias budaya yang memasung posisi perempuan sebagai pekerja domestik atau
dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama dan tak pantas melakukannya.
Ketiga, adanya peraturan perundang-undangan yang masih berpihak pada salah satu
jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender, contohnya
pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja No. 7 tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan
Non-upah yang menyebutkan bahwa tunjangan tetap diberikan kepada istri dan
anak. Dalam hal ini, pekerja wanita dianggap lajang sehingga tidak mendapat
tunjangan, meskipun ia bersuami dan mempunyai anak. Keempat, masih adanya
anggapan bahwa perbedaan kualitas modal manusia, misalnya tingkat pendidikan
dan kemampuan fisik menimbulkan perbedaan tingkat produktifitas yang berbeda
pula. Ada pula anggapan bahwa kaum wanita adalah kaum yang lemah dan selalu
berada pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.
2.11.5 Konflik Sosial
Pengertian Konflik
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik diartikan sebagai percekcokan,
perselisihan atau pertentangan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai
suatu proses sosial antara dua orang atau lebih(atau juga kelompok) yang berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tak berdaya.
Dalam Bahasa latin : Configere artinya saling memukul.
Pengertian Konflik menurut Ahli :
Soerjono Soekanto :
Suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan /atau
kekerasan.
Gillin and Gillin :
konflik adalah bagian dari sebuah proses sosial yang terjadi karena adanya
perbedaan-perbedaan fisik, emosi , kebudayaan dan perilaku.
Faktor-faktor Penyebab
Konflik Soejono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik
yaitu :
• Perbedaan antar individu,
• Perbedaan kebudayaan
,
• Perbedaan
kepentingan dan
• Perubahan sosial.
2.11.6 Masalah Polusi
Mengenai
lumpur lapindo ULASAN DARI SISI ETIKA BISNIS
Kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyebab utama meluapnya
lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo mulai berdalih dan seakan enggan
untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang
dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam
berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang
berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar
yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial. Eksploitasi
besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela
menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT.
Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih
untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan
atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan. Hal yang sama juga
dikemukakan miliuner Jon M. Huntsman, 2005 dalam bukunya yang berjudul Winners
Never Cheat. Dimana ia mengatakan bahwa kunci utama kesuksesan adalah
reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan
pihak lain. Tidak hanya itu, dalam sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan
The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever,
Monsanto, Imperial hChemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling,
menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan
environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan,
mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak
atau persetujuan investasi. Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang
dipegang oleh suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu
perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabaian etika dalam berbisnis akan
mengancam keamanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri, lingkungan sekitar,
alam, dan sosial.
Ulasan Dari Sudut Pandang Etika Lingkungan
Eksplorasi
secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan keamanan dan keselamatan, terutama
lingkungan hidup sekitar yang telah dilakukan PT Lapindo Brantas ini dinilai
sangat tidak beretika. Dimana demi mendapatkan sumber daya alam dalam jumlah
banyak ditambah untuk menghemat pengeluaran yang seharusnya dikeluarkan sesuai
prosedur yang berlaku, kini menimbulkan dampak buruk dan sangat parah terhadap
masyarakat. Bagaimanapun juga tindakan PT Lapindo jika ditinjau dari segi etika
lingkungan sangat tidak bertanggung jawab dan justru terkesan mengabaikannya
.
DAFTAR PUSAKA
https://sitinovianti.wordpress.com/2015/12/31/memberikan-contoh-tentang-perilaku-bisnis-yang-melanggar-etika/